AHLUL HALLI WAL AQDI
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Politik Islam
Dosen Pengampu: Bapak Adib
Disusun oleh:
Ikromah
(1401016036)
Siti mumayzah (1401016037)
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017
I.
PENDAHULUAN
Pada zaman Nabi Muhammad saw. Lembaga Ahlul Halli Wal Aqdi belum
dikenal. Begitupun pada masa abbsiyah pengertian Ahlul Halli Wal Aqdi diartikan
dengan orang-orang yang mempunyai wewenang melonggar dan mengikat. Istilah
tersebut dirumuskan para ahli fiqih sebgai sebutan bagi orang-orang yang
bertindak sebagi wakil umat untuk menyuarakan hati mereka
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa yang dimaksud dengan Ahlul Halli Wal Aqdi?
B.
Dasar Ahlul Hilli Wal Aqdi dalam Al-Qur’an?
C.
Bagaimana syarat menjadi Ahlul Halli Wal Aqdi?
D.
Apa tugas dan wewenang Ahlul Halli Wal Aqdi?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ahlul Halli Wal Aqdi
Secara bahasa
Ahlu Halli Wal Aqdi memiliki pengertian orang-orang yang melepas dan mengikat
atau orang yang dapat memutuskan dan mengikat. Sedangkan para ahli fiqh siyasah
Ahlu Halli Wal Aqdi adalah orang-orang yang memiliki kewenangan untuk
memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara). Atau lembaga
perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara suatu masyarakat.
Dalam
terminologi politik Ahlul Halli Wal Aqdi adalah dewan perwakilan (lembaga
legislatif) sebagai representasi dari seluruh masyarakat (rakyat)yang akan
memilih kepala negara serta menampung dan melaksanakan aspirasi rakyat.[1]
Istilah Ahlul
Hilli Wal Aqdi mulai timbul dalam kitab-kitab para ahli tafsir dan ahli fiqh
setelah masa rasulullah SAW. Mereka berada diantara orang-orang yang dinamakan
dengan Ash-Sahabah.
Kelompok Ahlul Hilli
Wal Aqdi dan pemilu adalah seperti masalah “kekhalifahan” sebagaimana yang
dikatakan oleh ibn khaldun yakni termasuk kemaslahatan umum yang semua
pengaturannya diserahkan kepada rakyat. Hal itu tidak termasuk masalah-masalah
yang berkaitan dengan ibadah atau keyakinan, tetapi termasuk adat.
Tidak diragukan
lagi bahwa banyaknya sebutan kelompok Ahlul Hilli Wal Aqdi dalam turats fiqh
sejak awal islam adalah dewan perwakilan rakyat atau ahlul ikhtiar, yang para
khalifah selalu merujuk dalam perkara-perkara rakyat juga berkomitmen dengan
pendapat, dan mempunyai hak untuk memilih atau menobatkan khalifah juga
memberhentikannya, yang terdiri dari para ulama, para pemimpin suku dan pemuka
masyarakat, menguatkan “kekuasaan besar yang dimiliki kelompok (Ahlul Hilli Wal
Aqdi) dan jela menunjukkan bahwa kelompok ini merupakan lembaga legislatif.”
Metode
pemilihan kepala negara dalam islam termasuk masalah-masalah yang mempunyai
bentuk politik konstitusional yang berpengaruh dengan kondisi dan keadaan
masyarakat juga perubahan-perubahan zaman.
Dasar dalam
masalah ini adalah bahwa rakyat yang memiliki kekuasaan dalam memilih pemimpin,
sementara Ahlul Hilli Wal Aqdi mewakili mereka, kecil jumlahnya dari rakyat,
tetapi memiliki kapasitas untuk memikul tanggung jawab memilih pemimpin.
B.
Dasar Ahlul Hilli Wal Aqdi dalam Al-Qur’An
Bila
Al-Qur’an dan sunah sebagai dua sumber perundang-undangan islam tidak
menyebutkan Ahlul Hilli Wa Aqdi atau dewan perwakilan rakyat, namun sebutan itu
hanya ada di dalam turats fiqih di bidang politik keagamaan dan pengambilan
hukum substansial dari dasar-dasar menyelururuh, maka dasar sebutan ini didalam
Al-Qur’an ada dalam mereka yang disebut dengan “ulil amri” firman Allah saw, dalam surat An-Nisa ayat 59
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs?
Îû &äóÓx« çnrãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºs ×öyz
ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Dasar
sebutan ini juga ada dalam mereka yang disebut dengn umat dalam firman Allah
surat AlQuran surat Al- Imran ayat104
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôt n<Î) Îösø:$# tbrããBù'tur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztur Ç`tã Ìs3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur
ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ
Artinya:
“dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan
mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.
Dengan demikian, fiqh politik islam
telah mencipakan satu bentuk musyawarah dimasa awal timbulnya daulah islamiyah
di madinah, sebagaimana ia juga telah menciptakan satu bentuk konstitusi yang
dikenal dengan konstitusi madinah. Bentuk musyawarah itu tidak lain kecuali apa
yang dikenal dengan Ahlul Hilli Wal Aqdi atau dewan perwakilan rakyat atau
Ahlul ikhtiar diawal islam, yang mereka telah dipercaya oleh rakyat dengan
keilmuan dan kecendekiawan mereka serta keikhlasan mereka juga dengan
keseriusan mereka dalam membuat hukum-hukum yang diperlukan, baik yang
berkenaan dengan peraturan sipil, politik, dan administratif. [2]
C.
Syarat menjadi Ahlul Halli Wal Ahdi
Menurut Al farra untuk menjadi Ahlul
Halli Wal Aqdi harus memiliki 3 syarat:
1.
Adil
2.
Mempunyai ilmu pengetahuan yang dengan ilmu pengetahuan itu dapat mengetahui
siapa saja yang berhak memegang tongkat kepemimpinan.
3.
Harus terdiri dari para pakar dan ahli manajemen yang dapat memilih
siapa yang lebih pantas untuk memegang tongkat kepemimpinan.[3]
Menurut
Al-Mawardi memberikan tiga syarat untuk menjadi Ahlul Halli Wal Aqdi:
1.
Adil.
2. Mempunyai ilmu
yang bisa digunakan untuk mengetahui orang yang berhak menduduki jabatan Imamah
(Khi-lafah) berdasarkan syarat yang diakui.
3.
Memiliki kecerdasaan dan kearifan yang menyebabkan dia mampu
memilih imam yang paling maslahat dan paling mampu tentang kebijakan-kebijakan
yang membawa kemaslahatan bagi umat.[4]
Yang dikemukakan oleh Al-Farra dan
Al-Mamardi tersebut sangat mirip. Selain itu syarat yang harus dipenuhi adalah
seperti syarat dalam hal-hal yang lain seperti, baligh, merdeka, laki-laki, dan
beragama islam. Akan tetapi untuk syarat laki-laki yang beragama islam terjadi
perbedaan pendapat antara para ulama. Ulama salaf berpendapat bahwa wanita dan
kafir dzimmi tidak boleh menjadi anggota majlis syura karena pada masa nabi
kafir dzimmi menjadi warga nomer dua dalam urusan politik, sedangkan wanita
pada zaman nabi itu hanya menjadi ibu rumah tangga. Sedangkan ulama fiqih
kontemporer seperti Fuad Abdul Mun’im (pakar politik islam kontemporer mesir)
memperbolehkan dengan batasan-batasan tertentu yang tidak melanggar syariat
hukum. Namun demikian, ada beberapa perbedaan mendasar antara dua lembaga
tertinggi negara tersebut, sehingga banyak ulama yang menolak eksistensi DPR
atau MPR sebagai lembaga tertinggi di dalam sebuah negara, dengan sitem
demokrasi yang banyak dianut oleh negara-negara islam. Adapun perbedaan sistem
khilafah dengan sistem parlemen DPR atau MPR adalah sebagai berikut :
a.
Dari segi perkembangannya
Sistem Ahlu Halli Wal Aqdi berkembang
sejak adanya pemerintahan islam pertama kali pada masa abu bakar as-shidiq yang
merupakan ijma’ sahabat ra, dan merupakan hujjah yang tidak terbantahkan.
b.
Dari sistem keanggotaannya
1.
Didalam sistem ahlu halli wal aqdi, anggotanya harus seorang muslim
yang adil. Adapun dalam sistem parlemen, anggotanya tidak harus beragama islam,
orang komunis atau ateis pun bisa menjadi anggota, bahkan menjadi ketua DPR
atau MPR, selama rakyat mendukung.
2.
Didalam sistem ahlu halli wal aqdi anggotanya harus seorang
laki-laki. Namun dalam sistem parlemen, perempuan dibolehkan menjadi anggota
didalamnya.
3.
Anggota ahlul halli wal aqdi harus seorang yang berpengetahuan luas
terhadap ajaran islam, sedangkan anggota parlemen boleh dari orang yang kurang
pengetahuan tentang masalah agama.
4.
Dari segi tugas dan peranannya. Tugas ahlul halli wal aqdi harus
sesuai dengan aturan syariat islamiyah. Mereka tidak boleh merubah aturan Allah
dan rasulnya yang sudah paten dan mapan, walau seluruh anggota dan rakyat
menghendaki perubahan itu. Adapun didalam parlemen, mereka bebas dan leluasa
menentukan sebuah hukum, undang-undang, dan bahkan merubh hukum Allah selama
hal itu disepakati seluruh anggota atau atas kehendak rakyat.
D.
Tugas dan wewenang Ahlul Hilli Wal Aqdi
Tugas Ahlul
Hilli Wal Aqdi tidak hanya bermusyawarah dalam perkara-perkara umum kenegaraan,
mengeluarkan Undang-Undang yang berkaitan dengan kemaslahatan dan tidak
bertabrakan dengan satu dasar dari dasar-dasar syariat yang baku dan
melaksanakan peran konstitusional dalam memilih pemimpin tertinggi negra saja.
Tetapi tugas mereka juga mencakup melaksanakan peran pengawasan atas kewenangan
legislatif sebagai wewenang pengawasan yang dilakukan oleh rakyat terhadap
pemerintah dan penguasa untuk mencegah mereka dari tindakan pelanggaran
terhadap satu hak dari hak-hak Allah. [5]
Tugas Ahlul
Hilli Wal Aqdi antara lain memilih khalifah, imam, kepala negara secara
langsung. Oleh karena itu Ahlul Hilli Wal Aqdi juga disebut oleh Al-Mawardi
sebagai ahl ikhtiyar (golongan yang berhak memilih). Peranan golongan ini
sangat penting untuk memilih salah seorang diantar ahl imamah (golongan yang
berhak dipilih) untuk menjadi khalifah. Ahlu Hilli Wal Aqdi adalah orang-orang
yang langsung berhubungan langsung dengan rakyat yang telah memberi kepercayaan
kepada mereka. [6]
Ahlul Halli Wal
Aqdi mempunyai wewenang :
1.
Ahlul Halli Wal Aqdi adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang
mempunyai wewenang untuk memilih dan membaiat imam serta untuk memecat dan
memberhentikan khalifah
2.
Ahlul Halli Wal Aqdi mempunyai wewenang untuk mengarahkan kehidupan
masyarakat kepada yang maslahat
3.
Ahlul Halli Wal Aqdi mempunyai wewenang untuk membuat Undang-Undang
yang mengikat pada seluruh umat didalam hal-hal yang tidak diatur tegas oleh
Al-Quran dan hadits
4.
Ahlul Halli Wal Aqdi tempat konsultasi imam didalam kebijakannya
5.
Ahlul Halli Wal Aqdi mengawasi jalannya pemerintahan
Wewenang
tersebut hampir mirip dengan MPR, DPR dan DPA di indonesia sebelum amandemen
UUD 1945. Ahlul Halli Wal Aqdi sangat penting dalam kehidupan bernegara. Karena
pada negara hakekatnya rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi. Sedangkan
rakyat tidak dimungkinkan untuk kumpul bersama.[7]
IV.
KESIMPULAN
Secara bahasa Ahlu Halli Wal Aqdi memiliki pengertian orang-orang
yang melepas dan mengikat atau orang yang dapat memutuskan dan mengikat.
Sedangkan para ahli fiqh siyasah Ahlu Halli Wal Aqdi adalah orang-orang yang
memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat
(warga negara). Atau lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi
atau suara suatu masyarakat. Dasar Ahlul Hilli Wal Aqdi terdapat pada Al-Qur’an
surat An-Nisa ayat 59 dan 83, juga terdapat pada Al-Qur’an surat Al-Imran ayat
104.
Terdapat tiga syarat untuk menjadi Ahlul Halli Wal Aqdi yang
dikemukakan oleh Al-Farra dan Al-Mawardi, syarat keduanya sangat mirip.
Tugas Ahlul Hilli Wal Aqdi antara lain memilih khalifah, imam,
kepala negara secara langsung. Oleh karena itu Ahlul Hilli Wal Aqdi juga
disebut oleh Al-Mawardi sebagai ahl ikhtiyar (golongan yang berhak memilih).
Selain tugas Ahlul Halli Wal Aqdi juga mempunyai wewenang yang wewenang itu
hampir mirip dengan MPR,DPR,DPA diindonesia sebelum amandemen UUD 1945.
V.
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang telah kami buat. Makalah ini masih banyak kekurangan dari segi isi
maupun yang lainnya, maka dari itu kritik dan saran dari para pembaca sangat
kami harapkan untuk menjadikan makalah ini lebih baik lagi. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi pemakalah dan pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Farid
Abdullah Khaliq, Fikih Politik Islam, (jakarta, Amzah, 2005), Hal:78-80.
https://hizbut-tahrir.or.id/2015/08/31/siapa-ahlul-halli-wal-aqdi/ diakses pada tanggal 08 oktober 2016 jam 08.00 WIB.
http://fadliyanur.blogspot.com/ahlul-halli-wal-aqdi.html diakses pada tanggal 08 oktober 2016 jam 08.30 WIB.
http://iwannasti.blogspot.co.id/makalah-fiqh-siyasah.html diakses pada tanggal 08 oktober 2016 jam 08.50 WIB
[1] https://hizbut-tahrir.or.id/2015/08/31/siapa-ahlul-halli-wal-aqdi/
diakses pada tanggal 08 oktober 2016 jam 08.00 WIB
[3] Farid Abdullah
Khaliq, Fikih Politik Islam, (jakarta, Amzah, 2005), Hal: 109.
[6] http://fadliyanur.blogspot.com/ahlul-halli-wal-aqdi.html
diakses pada tanggal 08 oktober 2016 jam 08.30 WIB
[7] http://iwannasti.blogspot.co.id/makalah-fiqh-siyasah.html
diakses pada tanggal 08 oktober 2016 jam 08.50 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar