KHITBAH / MEMINANG DAN PERGAULAN DALAM PINANGAN
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Fiqih Keluarga Muslim
Dosen Pengampu: Dr.Hj.Umul Baroroh,M.Ag.
Disusun oleh:
Ikromah
(1401016036)
Siti mumayzah (1401016037)
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017
I.
PENDAHULUAN
Islam
menganjurkan perkawinan, islam tidak mengajarkan hidup membujang. Allah
menegaskan dalam al-qu’an surat An-nisa ayat 3 yang artinya “kawininilah
wanita-wanita yang kalian senangi dua, tiga atau empat.
Nikah
disyariatkan Allah seumur dengan perjalanan hidup manusia sejak nabi Adam
sampai dan Hawa disurga adalah ajaran pernikahan pertama dalam islam.
Setelah
tentukan pilihan pasangan yang akan dinikahi sesuai dengan kreteria yang ditentukan,
langkah selanjutnya adalah penyampaiaan kehendak untuk menikahi pilihan yang
kehendak untuk menikahi pilihan yang telah ditentukan. Penyampaian kehendak
untuk dinikahi seseorang itu dinamai KHITBAH atau meminang.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa Pengertian Khitbah (meminang)?
B.
ApaSajaSyarat-SyaratKhitbah(meminang)?
C.
Siapa Saja Wanita Yang Sunnah Untuk Di Khitbah?
D.
Bagaimana Tata Cara Khitbah Dan HukumDalamPeminangan?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Khitbah
Peminangan adalah langkah pendahuluan menuju
arah perjodohan antara seorang pria dan wanita. Islam mensyariatkannya, agar
masing-masing calon mempelai dapat saling
mengenal dan memahami pribadi masing-masing.[1]
Khitbah atau juga disebut pinangan (meminang atau melamar) dalam
bahasa Arab Khitbah, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah
menurut bahasa, adat, syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya pendahuluan atau
mukadimah sekaligus mengantar menuju perkawinan atau pernikahan. Khitbah
merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada
pihak laki-laki atau permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal
atau calon istri.
Seluruh kitab atau kamus membedakan antara “khitbah” (melamar) dan
“zawaj” (kawin atau menikah). Adat kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang
sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah menikah, dan syariatpun
membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah
tidak lebih dari sekedar menemumkan keinginan untuk menikah dengan wanita
tertentu, sedangan zawaj (pernikahan) merupakan akad yang mengikat dan
perjanjian yang kuat serta mempunyai batas-batas, syarat-hak-hak, dan
akibat-akibat tertentu.
Secara bahasa khitbahberasal dari bahasa arab yang berarti
berbicara. Kitbah juga bisa diartikan sebagai ucapan yang berupa nasihat,
ceramah, pujian, dan sebagainya. Kata khitbah dalam bahasa Arab secara
literatur berarti pinang atau lamar. Yang dimaksud dengan pinang atau lamaran
secara istilah adalah pernyataan keinginan untuk menikah yang disampaikan oleh
salah satu pihak yang lain dengan cara ma’ruf dalam masyarakat atau
dengan cara lumrah dan biasa dilakukan dalam masyarakat.
Pelaku khitbah disebut khatib atau khit. Khitbah
merupakan endahuluan dari sebuah pernikahan. Yang berlaku umum dalam suatu
masyarakat khitbah dilakukan oleh seorang laki-laki, sehingga khitbah
diterjemahkan oleh fuqoha dengan pernyataan keinginan untuk menikah terhadap
seorang perempuan yang telah jelas dan perempuan itu memberitahukan keinginan
tersebut kepada walinya. Namun, kebiasaan tersebut tidak selamanya berlaku
dalam suatu masyarakat, terkantung tradisi masyarakatnya.
Masa khitbah bukan lagi masa untuk memilih. Mengkhitbah juga harus
memiliki komitmen untuk meneruskan ke jentang yang lebih tinggi lagi dan
sakral, yaitu sebuah jenjang pernikahan.[2]
B.
Syarat Peminangan dan Halangannya
Untuk melakukan peminangan tentulah ada syarat-syaratny. Adapun
syarat-syarat itu telah diatur dalam kompilasi hukum Islam pasal 12 ayat 2, 3
dan 4.
a.
Pasal 12 ayat 2
Wanita
yang ditalak suami yang masih berada dalam masa idah Raj’iah, haram dan
dilarang untuk dipinang.
b.
Pasal 12 ayat 3
Dilarang
juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan
pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak lain.
c.
Pasal 12 ayat 4
Putusnya
pihak pria, karen adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinang atau
secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang
dipinang.[3]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa syarat pinangan terletak pada wanita,
yaitu
a.
Wanita yang dipining bukan istri seseorang
b.
Wanita yang dipinang bukan pinangan orang laki-laki lain.
Dalam hadis juga disebutkan bahwa syarat peminangan disebutkan
dalam hadis riwayat Ibnu Umar ra : Dari Nabi saw beliau bersabda: “Janganlah
sebagian kamu menjual atas penjualan orang lain dan janganlah sebagian kamu
melamar atas lamaran orang yang lain”. (Shahih Muslim No.2530).
Hadis riwayat Abu Hurairah ra: “Bahwa Nabi saw. melarang orang
kota menjual kepada orang kampung atau melarang mereka untuk saling memahalkan
harga barang dengan maksud menipu atau seorang melamar atas lamaran saudaranya
yang lain, atau menjual atas penjualan orang lain. Dan janganlah seorang wanita
meminta perceraian wanita lain untuk menguasai sendiri nafkahnya atau untuk
merusak kehidupan rumah tangganya”. (Shahih Muslim No.2532)[4]
c.
Wanita yang dipinang bukan masa idah Raj’i.
d.
Wanita dalam masa idah wafat, tetapi hanya bisa dipinang dengan
sindiran atau kinayah.
e.
Wanita dalam masa idah bain shughra oleh bekas suaminya
f.
Wanita dalam masa iddah
bain kubra boleh dipinang bekas suaminya, setelah kawin dengan laki-laki lain,
di-dukhul (berhubungan suami istri) dan diceraikan.[5]
C.
Wanita Yang Disunnahkan Untuk Dikhitbah
Dalam mengkhitbah, seseorang muslim dianjurkan untuk memperhatikan
beberapa sifat wanita yang akan dilamar, diantaranya;
1.
Wanita itu disunahkan seorang yang penuh kasih sayang.
2.
Wanita yang akan dilamar itu seorang yang bisa memberi keturunan
banyak, karena ketenangan, kebahagiaan, dan keharmonisan keluarga akan terwujud
dengan lahirnya anak-anak yang menjadi harapan setiap pasangan suami isteri.
3.
Wanita yang dikhitbah itu seorang yang masih gadis dan masih muda.
4.
Dianjurkan tidak menikahi wanita yang masih termasuk keluarga
dekat.
5.
Disunnahkan bagi seorang muslim untuk menikahi yang mempunyai
silsilah keturunan yang jelas dan hormat.
6.
Hendaknya wanita yang akan dinikahi itu taat beragama dan berakhlak
mulia.
7.
Hendaknya wanita yang akan dinikahi adalah seorang wanita yang
cantik.[6]
D.
Tata Cara Khitbah Dan HukumDalamPeminangan
1. Tata carakhitbah
a. Pinangan kepada gadis atau janda yang sudah habis masa iddahnya lebih dinyatakan secara terang-terangan.
b. Pinangan kepada
janda yang masih dalam thalaq bain atau iddah ditinggal wafat suaminya tidak boleh
dinyatakan secara terang-terangan.
2. Hukum-hukum Dalam Peminangan
a. Hukum melihat wanita yang akan dipinang
Sebagian ulama mengatakan bahwa melihat perempuan yang akan
dipinang itu boleh saja, dan ada pula sebagian ulama yang berpendapat melihat
wanita yang akan dipinang itu hukumnya sunnah. Melihat calon isteri untuk
mengetahui penampilannya dan kecantikannya dipandang perlu untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sekaligus menghindari penyesalan
setelah menikah.
Batasan batasan kebolehan melihat wanita yang dipinang. Menurut jumhur
ulama bahwa yang boleh dilihat adalah wajah dan telapak tangan karena dengan demikian
dapat diketahui kehalusan tubuhnya dan kecantikan wajahnya.Sedangkan menurut
Abu Hanifah bahwa yang diperbolehkan adalah melihat wajah, kedua telapak tangan
dan dua telapak kaki.[7]
b. Hukum meminta pendapat kepada wanita atau lamaran seorang laki-laki.
Terhadap wanita yang masih kecil dan belum baligh, ayah atau
kakeknya berhak untuk menikahkannya tanpa harus meminta izin kepadanya terlebih
dahulu, karena ia belum banyak memahami berbagai hal tentang pernikahan. Dan tidak
boleh menikahkan anak yatim yang perempuan yang masih kecil sehingga ia baligh dan
memberikan izin.
Sedangkan terhadap wanita yang sudah baligh dan janda, maka
diharuskan meminta pendapat kepadanya tentang laki-laki yang melamarnya. Dan ia
harus mengucapkan secara secara terus tentang setuju atau tidak. Jika ia
dinikahkan dengan seorang laki-laki tanpa dimintai pendapatnya dan tanpa
persetujuannya, maka akad nikahnya dianggap batal.
Adapun mengenai wanita baliq yang masih gadis, maka sebagian ulama
ada yang berpendapat bahwa ada keharusan untuk meminta pendapat dan
persetujuaan kepadanya sebagaimana halnya kepada wanita janda mengenai
laki-laki yang melamarnya. Persetujuannya bisa berupa perkataan secara terus terang
atau dengan cara diam yang menunjukkan persetujuannya.
Dari ibnu abbas, ia menceritakan menceritakan Rasuallah SAW
bersabda: “seseorang janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya.
Sedangkan seorang gadis yang harus dimintai izin atas dirinya, dan izinnya
adalah diam”.
Ibnu sya’ban mengatakan hal itu perlu dikatakan kepadanya sebanyak
tiga kali,”jika engkau setuju, maka diamlah, dan jika tidak setuju, maka
bicaralah.[8]
c. Hukum menikahkan anak perempuan yatim
Kemudian para ulama berpendapat tentang anak jatim yang dinikahkan
oleh selain ayah atau kakeknya. Segolongan ulama berpendpat bahwa nikah anak
tersebut tetap sah dan ia mempunyai hak untuk memilih membatalkan atau
membolehkan pernikahan tersebut saat aqil baliq nanti.
Dan bagaimana jika seorang wali memberikan wasiat kepada seseorang
untuk menikahkan anak perempuannya?
Berkenaan dengan hal tersebut, mayoritas ulama berpendapat bahwa
seseorang tidak memiliki kekuasaan untuk menikahkan meski telah diserahkan
wasiat kepadanya. Asy sya’bi mengemukakan: “orang yang menerima wasiat tidak
memiliki hak apapun untuk menikahkan seorang anak perempuan yatim, karena hak
itu adalah hak milik para wali”.[9]
d. Hukum laki-laki yang melamar seorang wanita namun ia dinikahkan dengan perempuan
yang tidak dilamarnya.
Artinya, jika ada seorang laki-laki melamar seorang wanita, dan
lamarannya itu diterima, manun pada akhirnya ia dinikahkan oleh keluarganya
wanita itu dengan wanita lain (bukan wanita yang ia lamar), sedangkan ia
menyakini bahwa wanita tersebut adalah wanita yang dilamarnya. Maka nikahnya
itu tidak sah, karena qobul-nya kembali kepada orang yang tidak seharusnya.
Mengenai seorang yang laki-laki yang melamar seorang budak
perempuan, kemudian mereka menikahkan dengan saudara budak perempuan tersebut
maka Imam Ahmad mengemukakan, keduanya harus dipisahkan, sedangkan mahar
tersebut diserahkan kepada walinya. Kemudian sang wali menyerahkan saudara
wanita tersebut yang memang telah dilamarnya serta harus diadakan akad nikah
baru setelah masa iddah wanita yang telah diceraikannya tadi jika sudah terjadi
hubungan badan. [10]
IV.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari
pembahasan makalah kali ini adalah khitbah (meminng) merupakan langkah
pendahuluan menuju arah
perjodohan antara seorang pria dan wanita. Islam mensyariatkannya, agar
masing-masing calon mempelai dapat salang mengenal dan memahami pribadi
masing-masing.
syarat-syarat
itu telah diatur dalam kompilasi hukum Islam pasal 12 ayat 2, 3 dan 4. Wanita
yang ditalak suami yang masih berada dalam masa idah Raj’iah, haram dan
dilarang untuk dipinang (ayat 2), Dilarang juga meminang seorang wanita yang
sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum
ada penolakan dari pihak lain (ayat 3) Putusnya pihak pria, karen adanya
pernyataan tentang putusnya hubungan pinang atau secara diam-diam pria yang
meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang (ayat 4).
Tata cara
mengkhitbah yaitu kepada gadis atau janda yang sudah masa iddahnya lebih
dinyatakan secara terang-terangan dan pinangan kepada janda yang masih dalam
thalaq bain atau iddah ditinggal wafat suaminya tidak boleh dinyatakan secara
terang-terangan. Serta hukum dalam peminangan adalah (1) Hukum melihat wanita
yang akan dipinang. (2)Hukum meminta pendapat kepada wanita atau lamaran seorang
laki-laki. (3) Hukum menikahkan anak perempuan yatim. (4) Hukum laki-laki yang
melamar seorang wanita namun ia dinikahkan dengan perempuan yang tidak dilamarnya.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat tentang Kithbah atau meninang, pergaulan
dalam meminang, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan pada rekan-rekan
semua. Kami mohon maaf apabila ada kesalahaan ejaan dalam penulisan kata dan
kalimat yang kurang jelas. Kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari
kesalahaan. Untuk menyempurnakan makalah ini, kami sangat membutuh kan kritik
dan rekan-rekan semua. Sekian dari kami, semoga dapat diterima dihati dan kami
ucapkan terima kasih sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Rofiq Ahmad. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. 2013.
Baroroh Umul. Fiqih Keluarga Muslim Indonesia. Semarang: CV Karya
Abadi Jaya. 2015.
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di indonesia. Jakarta: Akademik
Perssindo. 1992.
Hasan Syakh Ayyub. fiqih keluarga. Jakarta. Pustaka Alkausar. 2001
[1] Ahmad Rofiq,
Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013, Cet
1, hal 79
[2]Umul Baroroh, Fiqih
Keluarga Muslim Indonesia, Semarang: CV Karya Abadi Jaya, 2015, Cet 1, hal
53-55
[3]Abdurrahman, Kompilasi
Hukum Islam di indonesia, Jakarta: Akademik Perssindo, 1992, Cet 1, 116
[4]Hadis Digital
[5]Ahmad Rofiq, Hukum
Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013, Cet 1,
hal 81-82
[6]Syakh Hasan
Ayyub, Fiqih Keluarga,Jakarta: Pustaka Alkausar, 2001,Hal 38-42
[7]Umul Baroroh, Fiqih
Keluarga Muslim Indonesia, Semarang: CV Karya Abadi Jaya, 2015, Cet 1, hal
59-60
[8]Syakh Hasan
Ayyub, Fiqih Keluarga,Jakarta: Pustaka Alkausar, 2001,Hal 68-70
[9]Syakh Hasan
Ayyub, Fiqih Keluarga,Jakarta: Pustaka Alkausar, 2001,Hal 77
[10]Syakh Hasan
Ayyub, Fiqih Keluarga,Jakarta: Pustaka Alkausar, 2001, Hal 177
Tidak ada komentar:
Posting Komentar