Senin, 29 Mei 2017

khitbah atau meminang dan pergaulan dalam pinangan



KHITBAH / MEMINANG DAN PERGAULAN DALAM PINANGAN
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Fiqih Keluarga Muslim
Dosen Pengampu: Dr.Hj.Umul Baroroh,M.Ag.


Disusun oleh:
Ikromah                       (1401016036)
Siti mumayzah                       (1401016037)

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017


       I.            PENDAHULUAN
Islam menganjurkan perkawinan, islam tidak mengajarkan hidup membujang. Allah menegaskan dalam al-qu’an surat An-nisa ayat 3 yang artinya “kawininilah wanita-wanita yang kalian senangi dua, tiga atau empat.
Nikah disyariatkan Allah seumur dengan perjalanan hidup manusia sejak nabi Adam sampai dan Hawa disurga adalah ajaran pernikahan pertama dalam islam.
Setelah tentukan pilihan pasangan yang akan dinikahi sesuai dengan kreteria yang ditentukan, langkah selanjutnya adalah penyampaiaan kehendak untuk menikahi pilihan yang kehendak untuk menikahi pilihan yang telah ditentukan. Penyampaian kehendak untuk dinikahi seseorang itu dinamai KHITBAH atau meminang.

    II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Apa Pengertian Khitbah (meminang)?
B.     ApaSajaSyarat-SyaratKhitbah(meminang)?
C.     Siapa Saja Wanita Yang Sunnah Untuk Di Khitbah?
D.    Bagaimana Tata Cara Khitbah Dan HukumDalamPeminangan?

 III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Khitbah
Peminangan adalah langkah pendahuluan menuju arah perjodohan antara seorang pria dan wanita. Islam mensyariatkannya, agar masing-masing calon mempelai dapat saling mengenal dan memahami pribadi masing-masing.[1]
Khitbah atau juga disebut pinangan (meminang atau melamar) dalam bahasa Arab Khitbah, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut bahasa, adat, syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya pendahuluan atau mukadimah sekaligus mengantar menuju perkawinan atau pernikahan. Khitbah merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak laki-laki atau permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal atau calon istri.
Seluruh kitab atau kamus membedakan antara “khitbah” (melamar) dan “zawaj” (kawin atau menikah). Adat kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah menikah, dan syariatpun membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar menemumkan keinginan untuk menikah dengan wanita tertentu, sedangan zawaj (pernikahan) merupakan akad yang mengikat dan perjanjian yang kuat serta mempunyai batas-batas, syarat-hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.
Secara bahasa khitbahberasal dari bahasa arab yang berarti berbicara. Kitbah juga bisa diartikan sebagai ucapan yang berupa nasihat, ceramah, pujian, dan sebagainya. Kata khitbah dalam bahasa Arab secara literatur berarti pinang atau lamar. Yang dimaksud dengan pinang atau lamaran secara istilah adalah pernyataan keinginan untuk menikah yang disampaikan oleh salah satu pihak yang lain dengan cara ma’ruf dalam masyarakat atau dengan cara lumrah dan biasa dilakukan dalam masyarakat.
Pelaku khitbah disebut khatib atau khit. Khitbah merupakan endahuluan dari sebuah pernikahan. Yang berlaku umum dalam suatu masyarakat khitbah dilakukan oleh seorang laki-laki, sehingga khitbah diterjemahkan oleh fuqoha dengan pernyataan keinginan untuk menikah terhadap seorang perempuan yang telah jelas dan perempuan itu memberitahukan keinginan tersebut kepada walinya. Namun, kebiasaan tersebut tidak selamanya berlaku dalam suatu masyarakat, terkantung tradisi masyarakatnya.
Masa khitbah bukan lagi masa untuk memilih. Mengkhitbah juga harus memiliki komitmen untuk meneruskan ke jentang yang lebih tinggi lagi dan sakral, yaitu sebuah jenjang pernikahan.[2]

B.     Syarat Peminangan dan Halangannya
Untuk melakukan peminangan tentulah ada syarat-syaratny. Adapun syarat-syarat itu telah diatur dalam kompilasi hukum Islam pasal 12 ayat 2, 3 dan 4.
a.       Pasal 12 ayat 2
Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa idah Raj’iah, haram dan dilarang untuk dipinang.
b.      Pasal 12 ayat 3
Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak lain.
c.       Pasal 12 ayat 4
Putusnya pihak pria, karen adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinang atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.[3]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa syarat pinangan terletak pada wanita, yaitu
a.       Wanita yang dipining bukan istri seseorang
b.      Wanita yang dipinang bukan pinangan orang laki-laki lain.

Dalam hadis juga disebutkan bahwa syarat peminangan disebutkan dalam hadis riwayat Ibnu Umar ra : Dari Nabi saw beliau bersabda: “Janganlah sebagian kamu menjual atas penjualan orang lain dan janganlah sebagian kamu melamar atas lamaran orang yang lain”. (Shahih Muslim No.2530).
Hadis riwayat Abu Hurairah ra: “Bahwa Nabi saw. melarang orang kota menjual kepada orang kampung atau melarang mereka untuk saling memahalkan harga barang dengan maksud menipu atau seorang melamar atas lamaran saudaranya yang lain, atau menjual atas penjualan orang lain. Dan janganlah seorang wanita meminta perceraian wanita lain untuk menguasai sendiri nafkahnya atau untuk merusak kehidupan rumah tangganya”. (Shahih Muslim No.2532)[4]
c.       Wanita yang dipinang bukan masa idah Raj’i.
d.      Wanita dalam masa idah wafat, tetapi hanya bisa dipinang dengan sindiran atau kinayah.
e.       Wanita dalam masa idah bain shughra oleh bekas suaminya
f.       Wanita dalam masa iddah bain kubra boleh dipinang bekas suaminya, setelah kawin dengan laki-laki lain, di-dukhul (berhubungan suami istri) dan diceraikan.[5]

C.    Wanita Yang Disunnahkan Untuk Dikhitbah
Dalam mengkhitbah, seseorang muslim dianjurkan untuk memperhatikan beberapa sifat wanita yang akan dilamar, diantaranya;
1.      Wanita itu disunahkan seorang yang penuh kasih sayang.
2.      Wanita yang akan dilamar itu seorang yang bisa memberi keturunan banyak, karena ketenangan, kebahagiaan, dan keharmonisan keluarga akan terwujud dengan lahirnya anak-anak yang menjadi harapan setiap pasangan suami isteri.
3.      Wanita yang dikhitbah itu seorang yang masih gadis dan masih muda.
4.      Dianjurkan tidak menikahi wanita yang masih termasuk keluarga dekat.
5.      Disunnahkan bagi seorang muslim untuk menikahi yang mempunyai silsilah keturunan yang jelas dan hormat.
6.      Hendaknya wanita yang akan dinikahi itu taat beragama dan berakhlak mulia.
7.      Hendaknya wanita yang akan dinikahi adalah seorang wanita yang cantik.[6]

D.    Tata Cara Khitbah Dan HukumDalamPeminangan
1.      Tata carakhitbah
a.       Pinangan kepada gadis atau janda yang sudah habis masa iddahnya lebih dinyatakan secara terang-terangan.
b.      Pinangan kepada janda yang masih dalam thalaq bain atau iddah ditinggal wafat suaminya tidak boleh dinyatakan secara terang-terangan.

2.      Hukum-hukum Dalam Peminangan
a.       Hukum melihat wanita yang akan dipinang
Sebagian ulama mengatakan bahwa melihat perempuan yang akan dipinang itu boleh saja, dan ada pula sebagian ulama yang berpendapat melihat wanita yang akan dipinang itu hukumnya sunnah. Melihat calon isteri untuk mengetahui penampilannya dan kecantikannya dipandang perlu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sekaligus menghindari penyesalan setelah menikah.
Batasan batasan kebolehan melihat wanita yang dipinang. Menurut jumhur ulama bahwa yang boleh dilihat adalah wajah dan telapak tangan karena dengan demikian dapat diketahui kehalusan tubuhnya dan kecantikan wajahnya.Sedangkan menurut Abu Hanifah bahwa yang diperbolehkan adalah melihat wajah, kedua telapak tangan dan dua telapak kaki.[7]
b.      Hukum meminta pendapat kepada wanita atau lamaran seorang laki-laki.
Terhadap wanita yang masih kecil dan belum baligh, ayah atau kakeknya berhak untuk menikahkannya tanpa harus meminta izin kepadanya terlebih dahulu, karena ia belum banyak memahami berbagai hal tentang pernikahan. Dan tidak boleh menikahkan anak yatim yang perempuan yang masih kecil sehingga ia baligh dan memberikan izin.
Sedangkan terhadap wanita yang sudah baligh dan janda, maka diharuskan meminta pendapat kepadanya tentang laki-laki yang melamarnya. Dan ia harus mengucapkan secara secara terus tentang setuju atau tidak. Jika ia dinikahkan dengan seorang laki-laki tanpa dimintai pendapatnya dan tanpa persetujuannya, maka akad nikahnya dianggap batal.
Adapun mengenai wanita baliq yang masih gadis, maka sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa ada keharusan untuk meminta pendapat dan persetujuaan kepadanya sebagaimana halnya kepada wanita janda mengenai laki-laki yang melamarnya. Persetujuannya bisa berupa perkataan secara terus terang atau dengan cara diam yang menunjukkan persetujuannya.
Dari ibnu abbas, ia menceritakan menceritakan Rasuallah SAW bersabda: “seseorang janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya. Sedangkan seorang gadis yang harus dimintai izin atas dirinya, dan izinnya adalah diam”.
Ibnu sya’ban mengatakan hal itu perlu dikatakan kepadanya sebanyak tiga kali,”jika engkau setuju, maka diamlah, dan jika tidak setuju, maka bicaralah.[8]
c.       Hukum menikahkan anak perempuan yatim
Kemudian para ulama berpendapat tentang anak jatim yang dinikahkan oleh selain ayah atau kakeknya. Segolongan ulama berpendpat bahwa nikah anak tersebut tetap sah dan ia mempunyai hak untuk memilih membatalkan atau membolehkan pernikahan tersebut saat aqil baliq nanti.
Dan bagaimana jika seorang wali memberikan wasiat kepada seseorang untuk menikahkan anak perempuannya?
Berkenaan dengan hal tersebut, mayoritas ulama berpendapat bahwa seseorang tidak memiliki kekuasaan untuk menikahkan meski telah diserahkan wasiat kepadanya. Asy sya’bi mengemukakan: “orang yang menerima wasiat tidak memiliki hak apapun untuk menikahkan seorang anak perempuan yatim, karena hak itu adalah hak milik para wali”.[9]
d.      Hukum laki-laki yang melamar seorang wanita namun ia dinikahkan dengan perempuan yang tidak dilamarnya.
Artinya, jika ada seorang laki-laki melamar seorang wanita, dan lamarannya itu diterima, manun pada akhirnya ia dinikahkan oleh keluarganya wanita itu dengan wanita lain (bukan wanita yang ia lamar), sedangkan ia menyakini bahwa wanita tersebut adalah wanita yang dilamarnya. Maka nikahnya itu tidak sah, karena qobul-nya kembali kepada orang yang tidak seharusnya.
Mengenai seorang yang laki-laki yang melamar seorang budak perempuan, kemudian mereka menikahkan dengan saudara budak perempuan tersebut maka Imam Ahmad mengemukakan, keduanya harus dipisahkan, sedangkan mahar tersebut diserahkan kepada walinya. Kemudian sang wali menyerahkan saudara wanita tersebut yang memang telah dilamarnya serta harus diadakan akad nikah baru setelah masa iddah wanita yang telah diceraikannya tadi jika sudah terjadi hubungan badan. [10]















 IV.            KESIMPULAN
Kesimpulan dari pembahasan makalah kali ini adalah khitbah (meminng) merupakan langkah pendahuluan menuju arah perjodohan antara seorang pria dan wanita. Islam mensyariatkannya, agar masing-masing calon mempelai dapat salang mengenal dan memahami pribadi masing-masing.
syarat-syarat itu telah diatur dalam kompilasi hukum Islam pasal 12 ayat 2, 3 dan 4. Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa idah Raj’iah, haram dan dilarang untuk dipinang (ayat 2), Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak lain (ayat 3) Putusnya pihak pria, karen adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinang atau secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang (ayat 4).
Tata cara mengkhitbah yaitu kepada gadis atau janda yang sudah masa iddahnya lebih dinyatakan secara terang-terangan dan pinangan kepada janda yang masih dalam thalaq bain atau iddah ditinggal wafat suaminya tidak boleh dinyatakan secara terang-terangan. Serta hukum dalam peminangan adalah (1) Hukum melihat wanita yang akan dipinang. (2)Hukum meminta pendapat kepada wanita atau lamaran seorang laki-laki. (3) Hukum menikahkan anak perempuan yatim. (4) Hukum laki-laki yang melamar seorang wanita namun ia dinikahkan dengan perempuan yang tidak dilamarnya.

    V.            PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat tentang Kithbah atau meninang, pergaulan dalam meminang, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan pada rekan-rekan semua. Kami mohon maaf apabila ada kesalahaan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas. Kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahaan. Untuk menyempurnakan makalah ini, kami sangat membutuh kan kritik dan rekan-rekan semua. Sekian dari kami, semoga dapat diterima dihati dan kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya.



DAFTAR PUSTAKA
Rofiq Ahmad. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2013.
Baroroh Umul. Fiqih Keluarga Muslim Indonesia. Semarang: CV Karya Abadi Jaya. 2015.
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di indonesia. Jakarta: Akademik Perssindo. 1992.
Hasan Syakh Ayyub. fiqih keluarga. Jakarta. Pustaka Alkausar. 2001


[1] Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013, Cet 1, hal 79
[2]Umul Baroroh, Fiqih Keluarga Muslim Indonesia, Semarang: CV Karya Abadi Jaya, 2015, Cet 1, hal 53-55
[3]Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di indonesia, Jakarta: Akademik Perssindo, 1992, Cet 1, 116
[4]Hadis Digital
[5]Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013, Cet 1, hal 81-82
[6]Syakh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga,Jakarta: Pustaka Alkausar, 2001,Hal 38-42
[7]Umul Baroroh, Fiqih Keluarga Muslim Indonesia, Semarang: CV Karya Abadi Jaya, 2015, Cet 1, hal 59-60

[8]Syakh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga,Jakarta: Pustaka Alkausar, 2001,Hal 68-70
[9]Syakh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga,Jakarta: Pustaka Alkausar, 2001,Hal 77

[10]Syakh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga,Jakarta: Pustaka Alkausar, 2001, Hal 177

Tidak ada komentar:

Posting Komentar