NIKAH DENGAN AHLUL KITAB
Makalah
Di Susun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Tafsir Dakwah
Dosen Pengampu Fadholan
Musyafa
Disusun Oleh :
Desy Nur C
(1401016006)
Siti Mumayzah
(1401016037)
Siti Mutmainah
(1401016125)
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017
I.
PENDAHULUAN
Hubungan
antar umat beragama telah lama menjadi isu yang populer di Indonesia.
Popularitas isu ini sebagai konsekuensi dari masyarakat Indonesia yang majemuk,
khususnya dari segi agama dan etnis. Karena itu, persoalan hubungan antar umat
beragama ini menjadi perhatian dari berbagai kalangan, tidak hanya pemerintah
tetapi juga komponen lain dari bangsa ini, sebut saja misalnya, LSM, lembaga
keagamaan, baik Islam maupun non Islam dan lain sebagainya.
Seringkali
kita lihat di tengah masyarakat apalagi di kalangan orang berkecukupan dan
kalangan selebriti terjadi pernikahan beda agama, entah si pria yang muslim
menikah dengan wanita non muslim (nashrani, yahudi, atau agama lainnya) atau
barangkali si wanita yang muslim menikah dengan pria non muslim. Namun kadang
kita hanya mengikuti pemahaman sebagian orang yang sangat mengagungkan
perbedaan agama (pemahaman liberal). Tak sedikit yang terpengaruh dengan
pemahaman liberal semacam itu, yang mengagungkan kebebasan, yang pemahamannya
benar-benar jauh dari Islam. Paham liberal menganut keyakinan perbedaan agama
dalam pernikahan tidaklah jadi masalah.
Namun
bagaimana sebenarnya menurut pandangan Islam yang benar mengenai status
pernikahan beda agama? Berangkat dari permasalahan itu kami mencoba untuk
menjelas sekelumit tentang bagaimana hukumnya pernikahan beda agama, baik itu
menurut UUD 1945, Kompilasi Hukum Islam, dan juga menurut agama Islam itu
sendiri
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimana Teks dan Terjemah QS. Al-Maidah Ayat 5?
B.
Bagaimana Tafsir QS. Al-Maidah Ayat 5?
C.
Bagaimana Pengertian Ahlul Kitab?
D.
Bagaimana Hukum dalam QS. Al-Maidah Ayat 5?
III.
PEMBAHASAN
A.
Teks dan Terjemah QS. Al-Maidah Ayat 5
tPöquø9$#¨@Ïmé&ãNä3s9àM»t6Íh©Ü9$#(ãP$yèsÛurtûïÏ%©!$#(#qè?ré&|=»tGÅ3ø9$#@@Ïmö/ä3©9öNä3ãB$yèsÛur@@ÏmöNçl°;(àM»oY|ÁósçRùQ$#urz`ÏBÏM»oYÏB÷sßJø9$#àM»oY|ÁósçRùQ$#urz`ÏBtûïÏ%©!$#(#qè?ré&|=»tGÅ3ø9$#`ÏBöNä3Î=ö6s%!#sÎ)£`èdqßJçF÷s?#uä£`èduqã_é&tûüÏYÅÁøtèCuöxîtûüÅsÏÿ»|¡ãBwurüÉÏGãB5b#y÷{r&3`tBuröàÿõ3tÇ`»uKM}$$Î/ôs)sùxÝÎ6ym¼ã&é#yJtãuqèdurÎûÍotÅzFy$#z`ÏBz`ÎÅ£»sø:$#ÇÎÈ
5. Pada hari ini
Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi
Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan
Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak
menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat
Termasuk orang-orang merugi.[1]
B.
Tafsir QS. Al-Maidah Ayat 5
الْيَوْمَأُحِلَّلَكُمُالطَّيِّبَاتُ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu
yang baik-baik
Segala yang baik halal untuk dimakan. Segala yang Allah halalkan adalah
baik-baik belaka. Ayat ini memansukhkan segala yang haram dalam kitab-kitab
dahulu.
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ
“Makanan orang-orang
yang diberi Al Kitab itu halal bagimu,”
Makanan yang dimaksudkan dalam ayat ini bukan makanan biasa tetapi makanan
sembelihanbinatang yang disembelih. Oleh itu, hukum dalam ayat ini, sembelihan
ahli kitab adalah halal. Yaitu Ahli Kitab yang tidak syirik kepada Allah.
Tetapi ada juga yang melonggarkan hukum ini dengan mengatakan asalkan
sembelihan Ahli Kitab sahaja, boleh dimakan.
Ada sebuah hadis yang disebutkan di dalam kitab sahih, bahwa penduduk
Khaibar mengirimkan seekor kambing panggang kepada Rasulullah Saw., sedangkan
mereka telah meletak racun pada kakinya kerana mereka tahu yang Nabi Saw.
menyukai kaki kambing, maka Nabi Saw. memakan sebahagian darinya sekali suap.
Tetapi kaki kambing itu memberitahu kepada Nabi Saw. bahawa ia telah diracuni.
Maka Nabi Saw. memuntahkannya kembali. Tetapi kesannya tetap ada pada urat
nadi jantung baginda. Pada saat itu yang ikut makan bersama baginda adalah
Bisyr ibnul Barra ibnu Ma’rur, tetapi ia tidak dapat ditolong dan
meninggal dunia. Maka wanita Yahudi yang membubuhkan racun itu dibunuh. Ia
bernama Zainab.
Kisah di atas menunjukkan yang Nabi Muhammad dan para sahabat ada memakan
binatang sembelihan Ahli Kitab.
وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ
“dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.”
Dan binatang sembelihan kita pun halal untuk mereka. Oleh itu, ayat
ini memberitahu kita yang boleh kita makan baik-baik dengan mereka walaupun
agama tidak sama.
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
الْمُؤْمِنَاتِ
“(Dan dihalalkan
mangahwini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman”
Seeloknya kita kahwin dengan wanita-wanita muslim yang baik budi pekerti
dan agama mereka.
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ
“dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu,”
Perempuan mereka yang jaga maruah dari ahli kitab pun halal untuk kamu
untuk kahwini. Walaupun ada yang kata ayat ini tidak dipakai lagi. Tapi Allah telahmenghalalkan.
Memang mungkin ada masalah kalau menikah dengan mereka. Kena nilai sendiri
apakah ia baik untuk kita. Macam makan makanan yang halal juga, tapi ada yang
tidak sesuai untuk kita kerana tidak sesuai dengan kesehatan kita.
Oleh kerana itu, hanya lelaki muslim sahaja yang boleh menikah dengan
wanita ahli kitab. Wanita Muslim tidak boleh menikah dengan lelaki ahli
kitabkerana wanita selalunya terikut dengan agama suaminya.
إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ
“bila kamu telah membayar
mas kawin mereka”
Perempuan muslim atau dari ahli kitab, mereka itu halal bagi kita
(perempuan) apabila telah diberi mahar kepada mereka (laki-laki).
مُحْصِنِينَ غَيْرَ
مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
“dengan maksud
menikahinya dengan jaga maruah, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik”.
Pernikahan itu mestilah untuk jaga maruah. Bukan sebagai untuk pernizaan
atau jadikan perempuan itu sebagai perempuan simpanan. Islam menjaga baik
maruah wanita dan tidak menjadikan mereka sebagai perempuan murahan yang
digunakan sebagai gunaan seks sahaja, sebagai memuaskan hawa nafsu sahaja.
Apabila mereka dinikahi, mereka punya hak juga yang mesti dipenuhi. Kalau
mereka itu dijadikan sebagai perempuan simpanan, sebagai tempat perzinaan
sahaja, tentulah mereka tidak ada hak seperti yang sepatutnya.
وَمَن يَكْفُرْ
بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ
“Barangsiapa yang
kufur untuk beriman, maka hapuslah amalannya”
Kufur dalam ayat ini bermaksud melakukan syirik amali. Kalau buat syirik
amali ini, gugur segala amalan baik yang pernah mereka lakukan. Tidak kisahlah
kalau mereka ada buat amalan kebaikan dahulu, tapi kalau mereka buat syirik
amali saja, segala pahala amal kebaikan mereka itu akan musnah dan hilang
begitu saja.
Ayat ini tentang hukum halal dan haram. Kalau tidak menjaga halal dan haramnya,
maka kufurlah orang itu, tidak ada bedanya dengan orang yang tidak mengaku
Islam pun.
وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ
مِنَ الْخَاسِرِينَ
“dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi”.
Mereka rugi kerana mereka ada peluang untuk menjalani kehidupan yang baik
di dunia dengan syarat taat kepada hukum Allah, tapi mereka lepaskan begitu
sahaja.[2]
C.
Pengertian Ahlul Kitab
Dalam Is1am “Ahli
Kitab” adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka yang percaya kepada
Kitabullah, Taurat dan Injil, yang masing-masing diturunkan kepada Nabi Musa
a.s dan Isa. a.s.[3]Istilah
ahlul kitab berasal dari dua kata bahasa arab yaitu ahl dan kitab. Ahl/ahlu
berarti pemilik sedangkan kitab berarti kitab/buku suci. Jadi, ahlukitab
berarti, “Pemilik Kitab”, yakni para ummat nabi yang diberi kitab suci (wahyu
Allah), seperti orang Yahudi dan
Nasrani. Mereka diberi kitab taurat dan injil.[4]
Ahli Kitab (أهل
الكتاب′Ahl al-Kitāb) adalah sebutan bagi umat Yahudi dan Nasrani di dalam Al-Qur'an. Dinamakan demikian karena Allah telah mengutus nabi-nabi yang
membawa kitab suci yaitu Taurat melalui Nabi Musa dan Injil melalui Nabi Isa. Dengan kedatangan Nabi
Muhammad dan
diturunkannya Al-Quran, ahli kitab ini ada yang menerima[1] dan ada yang menolak kerasulan Muhammad maupun kebenaran Al-Quran
dari Allah. Penafsiran secara umum diterima bahwa kitab-kitab sebelum datangnya
Islam adalah Taurat, Zabur, dan Injil. Dalam masalah hewan untuk dikonsumsi, bila penyembelihannya
dilakukan oleh ahli kitab, maka hasil sembelihan tersebut dihalalkan, asalkan
niatnya hanya untuk Allah semata[5]
D.
Hukum dalam QS. Al-Maidah Ayat 5
Perkawinan bagi umat Islam, bukanlah sekedar suatu ikatan
lahiriah antara seorang pria dengan wanita guna memenuhi kebutuhan biologis,
tetapi merupakan sunnah Rasulullah SAW, suatu perbuatan suci dan luhur yang
bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup dan mencapai ketenangan (sakinah)
dalam kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu pernikahan harus dilaksanakan
menurut petunjuk Allah SWT dan Rasul-Nya.
Namun sekarang ini, semakin banyak kaum muslimin dan muslimat yang
melangsungkan perkawinan dengan kekasihnya tanpa memperhatikan perbedaan agama.
Mereka berasumsi bahwa perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk membentuk
keluarga yang bahagia.
Perkawinan tersebut ada yang dilaksanakan berdasarkan tata cara syari’at
Islam, ada yang berdasarkan tata cara agama lain seperti yang dilangsungkan di
gereja dengan pemberkatan pastur dan ada pula yang hanya dengan didaftarkan di
catatan sipil.
Untuk memberikan pemahaman kepada umat Islam tentang pernikahan yang sah
dan yang tidak sah menurut Syari’at Islam, serta untuk melindungi mereka dan
penyimpangan dalam perkawinan yang berakibat pada ketidak-absahan hubungan
suami istri dan status anak-anak yang dilahirkan, MUI memfatwakan tentang hukum
perkawinan antara pemeluk agama Islam (muslim) dengan pemeluk agama lain (non
muslim), sebagai berikut:[6]
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ
لَهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ قَبْلِكُمْ
“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab
itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan
mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi
Al-Kitab sebelum kamu” [al-Maidah/5: 5]
1)
Perilaku para sahabat, karena mereka telah menikahi wanita-wanita
yang bersetatus sebagai Ahli Dzimmah dari Ahli Kitab. Misalnya Utsman
Radhiyallahu ‘anhu, beliau telah menikahi Nailah binti Al-Gharamidhah Al-Kalbiyyah,
padahal ia seorang wanita Nasrani, lalu masuk Islam dengan perantara beliau.
Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu menikah dengan seorang wanita Yahudi dari
Al-Madain.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengenai orang-orang Majusi
سُنُّوا سُنَّةً أَهْلِ الْكِتَابِ غَيْرَ نَا كِحِي نِسَائِهِمْ وَلاَ
أَكْلِى ذَبَائِحِهِم
“Berbuatlah kalian kepada mereka seperti yang berlaku bagi Ahli Kitab,
selain menikahi wanita-wanita mereka dan tidak makan daging sembelihan mereka
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ
“Dan janganlah kamu
nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman” [al-Baqarah/2 : 221]
Sisi pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah mengharamkan nikah dengan wanita musyrik dalam ayat ini. Padahal
wanita Ahli Kitab adalah orang musyrik. Dalam menyatakan bahwa wanita Ahli
Kitab itu adalah orang musyrik, mereka berdalil dengan sebuah riwayat yang
shahih dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau pernah ditanya tentang
hukum menikah dengan wanita-wanita Nashrani dan Yahudi. Maka beliau menjawab :
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagi orang-orang yang beriman menikah
dengan wanita-wanita musyrik. Dan, saya tidak mengetahui ada kemusyrikan yang
lebih besar daripada seorang wanita yang mengatakan Rabb-nya adalah Nabi Isa.
Padahal beliau adalah salah seorang hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala” [HR
Al-Bukhari dalam Shahih-nya]
Mereka juga berdalil
dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir” [al-Mumtahanah/60: 10]
Sisi pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah melarang tetap berpegang teguh pada ikatan pernikahan dengan
perempuan-perempuan kafir. Padahal perempuan-perempuan Ahli Kitab termasuk
perempuan-perempuan kafir. Sementara larangan (An-Nahyu) dalam ayat tersebut
bermakna haram.[7]
IV.
KESIMPULAN
Menikah merupakan salah satu sunah yang paling dicintai oleh
Rasulullah Saw. Beliau mengkategorikan seseorang yang tidak menyukai sunnahnya
dan tidak menikah sebagai orang yang bukan golongan beliau. Sesuai dengan sabda
beliau, “Nikah itu sunnahku. Barang siapa yang tidak suka terhadap sunahku
maka ia bukan golonganku.” (HR. Ibnu Majah, dari Aisyah Ra). Menikah dengan
ahlul kitab hanya boleh dilakukan oleh lelaki muslim sahaja
yang dengan wanita ahli kitab. Wanita Muslim tidak boleh menikah dengan lelaki
ahli kitabkerana wanita selalunya terikut dengan agama suaminya.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun kami harapkan untuk perbaikan makalah
selanjutnya. Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi
kita semua, Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Depag
RI, Al-Hikmah (Al-Qur’an dan Terjemahnya), (Bandung, CV PENERBIT
DIPONEGORO, 2010).
Abdurrahman
al-Jaziry, Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fiqr,
1995), Juz ke-4.
https://id.wikipedia.org/wiki/Ahli_Kitab, diakses pukul 09:00 wib, tanggal 08-05-2017
DR.
Setiawan Budi Otomo. 2003. Fiqih Aktual. Jakarta: Gema Insani.
https://almanhaj.or.id/3995-hukum-seorang-muslim-menikahi-wanita-ahli-kitab.html, diakses pukul 09:00 wib, tanggal 08-05-2017.
http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-al-maidah-ayat-5.html, diakses pukul 09-00 wib tanggal 08-05-2017.
[1] Depag RI, Al-Hikmah (Al-Qur’an dan Terjemahnya), (Bandung, CV
PENERBIT DIPONEGORO, 2010), Hal: 107
[2]http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat-al-maidah-ayat-5.html,
diakses pukul 09-00 wib tanggal 08-05-2017.
[3]Abdurrahman al-Jaziry, Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah,
(Beirut: Dar al-Fiqr, 1995), Juz ke-4, hal. 75-76.
[4]Abdurrahman al-Jaziry, Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz
ke-4, hal. 76-77
[5]https://id.wikipedia.org/wiki/Ahli_Kitab,
diakses pukul 09:00 wib, tanggal 08-05-2017
[6]DR. Setiawan Budi Otomo. 2003. Fiqih Aktual. Jakarta: Gema Insani. Hal
: 258-265
[7]https://almanhaj.or.id/3995-hukum-seorang-muslim-menikahi-wanita-ahli-kitab.html, diakses pukul 09:00
wib, tanggal 08-05-2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar