Kamis, 01 Juni 2017

Nikah Dengan Ahlul Kitab



NIKAH DENGAN AHLUL KITAB
Makalah
Di Susun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Tafsir Dakwah
 Dosen Pengampu Fadholan Musyafa


Disusun Oleh :
Desy Nur C           (1401016006)
Siti Mumayzah      (1401016037)
Siti Mutmainah      (1401016125)

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2017


I.                   PENDAHULUAN
Hubungan antar umat beragama telah lama menjadi isu yang populer di Indonesia. Popularitas isu ini sebagai konsekuensi dari masyarakat Indonesia yang majemuk, khususnya dari segi agama dan etnis. Karena itu, persoalan hubungan antar umat beragama ini menjadi perhatian dari berbagai kalangan, tidak hanya pemerintah tetapi juga komponen lain dari bangsa ini, sebut saja misalnya, LSM, lembaga keagamaan, baik Islam maupun non Islam dan lain sebagainya.
Seringkali kita lihat di tengah masyarakat apalagi di kalangan orang berkecukupan dan kalangan selebriti terjadi pernikahan beda agama, entah si pria yang muslim menikah dengan wanita non muslim (nashrani, yahudi, atau agama lainnya) atau barangkali si wanita yang muslim menikah dengan pria non muslim. Namun kadang kita hanya mengikuti pemahaman sebagian orang yang sangat mengagungkan perbedaan agama (pemahaman liberal). Tak sedikit yang terpengaruh dengan pemahaman liberal semacam itu, yang mengagungkan kebebasan, yang pemahamannya benar-benar jauh dari Islam. Paham liberal menganut keyakinan perbedaan agama dalam pernikahan tidaklah jadi masalah.
Namun bagaimana sebenarnya menurut pandangan Islam yang benar mengenai status pernikahan beda agama? Berangkat dari permasalahan itu kami mencoba untuk menjelas sekelumit tentang bagaimana hukumnya pernikahan beda agama, baik itu menurut UUD 1945, Kompilasi Hukum Islam, dan juga menurut agama Islam itu sendiri

II.                RUMUSAN MASALAH

A.    Bagaimana Teks dan Terjemah QS. Al-Maidah Ayat 5?
B.     Bagaimana Tafsir QS. Al-Maidah Ayat 5?
C.     Bagaimana Pengertian Ahlul Kitab?
D.    Bagaimana Hukum dalam QS. Al-Maidah Ayat 5?

III.             PEMBAHASAN
A.    Teks dan Terjemah QS. Al-Maidah Ayat 5
tPöquø9$#¨@Ïmé&ãNä3s9àM»t6Íh©Ü9$#(ãP$yèsÛurtûïÏ%©!$#(#qè?ré&|=»tGÅ3ø9$#@@Ïmö/ä3©9öNä3ãB$yèsÛur@@ÏmöNçl°;(àM»oY|ÁósçRùQ$#urz`ÏBÏM»oYÏB÷sßJø9$#àM»oY|ÁósçRùQ$#urz`ÏBtûïÏ%©!$#(#qè?ré&|=»tGÅ3ø9$#`ÏBöNä3Î=ö6s%!#sŒÎ)£`èdqßJçF÷s?#uä£`èduqã_é&tûüÏYÅÁøtèCuŽöxîtûüÅsÏÿ»|¡ãBŸwurüÉÏ­GãB5b#y÷{r&3`tBuröàÿõ3tƒÇ`»uKƒM}$$Î/ôs)sùxÝÎ6ym¼ã&é#yJtãuqèdurÎûÍotÅzFy$#z`ÏBz`ƒÎŽÅ£»sƒø:$#ÇÎÈ
5. Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi.[1]

B.     Tafsir QS. Al-Maidah Ayat 5
الْيَوْمَأُحِلَّلَكُمُالطَّيِّبَاتُ
                                                  “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik
Segala yang baik halal untuk dimakan. Segala yang Allah halalkan adalah baik-baik belaka. Ayat ini memansukhkan segala yang haram dalam kitab-kitab dahulu.
 وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ
“Makanan orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu,” 
Makanan yang dimaksudkan dalam ayat ini bukan makanan biasa tetapi makanan sembelihanbinatang yang disembelih. Oleh itu, hukum dalam ayat ini, sembelihan ahli kitab adalah halal. Yaitu Ahli Kitab yang tidak syirik kepada Allah. Tetapi ada juga yang melonggarkan hukum ini dengan mengatakan asalkan sembelihan Ahli Kitab sahaja, boleh dimakan.
Ada sebuah hadis yang disebutkan di dalam kitab sahih, bahwa penduduk Khaibar mengirim­kan seekor kambing panggang kepada Rasulullah Saw., sedangkan mereka telah meletak racun pada kakinya kerana mereka tahu yang Nabi Saw. menyukai kaki kambing, maka Nabi Saw. memakan sebahagian darinya sekali suap. Tetapi kaki kambing itu memberitahu kepada Nabi Saw. bahawa ia telah diracuni. Maka Nabi Saw. memuntahkannya kembali. Tetapi kesannya tetap ada pada urat nadi jantung baginda. Pada saat itu yang ikut makan bersama baginda adalah Bisyr ibnul Barra ibnu Ma’rur, tetapi ia tidak dapat ditolong dan meninggal dunia. Maka wanita Yahudi yang membubuhkan racun itu dibunuh. Ia bernama Zainab.
Kisah di atas menunjukkan yang Nabi Muhammad dan para sahabat ada memakan binatang sembelihan Ahli Kitab.
 وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ
“dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.”       
Dan binatang sembelihan kita pun halal untuk mereka. Oleh itu, ayat ini memberitahu kita yang boleh kita makan baik-baik dengan mereka walaupun agama tidak sama.
 وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ        
“(Dan dihalalkan mangahwini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman”
Seeloknya kita kahwin dengan wanita-wanita muslim yang baik budi pekerti dan agama mereka.
 وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ
“dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu,”
Perempuan mereka yang jaga maruah dari ahli kitab pun halal untuk kamu untuk kahwini. Walaupun ada yang kata ayat ini tidak dipakai lagi. Tapi Allah telahmenghalalkan. Memang mungkin ada masalah kalau menikah dengan mereka. Kena nilai sendiri apakah ia baik untuk kita. Macam makan makanan yang halal juga, tapi ada yang tidak sesuai untuk kita kerana tidak sesuai dengan kesehatan kita.
Oleh kerana itu, hanya lelaki muslim sahaja yang boleh menikah dengan wanita ahli kitab. Wanita Muslim tidak boleh menikah dengan lelaki ahli kitabkerana wanita selalunya terikut dengan agama suaminya.
 إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“bila kamu telah membayar mas kawin mereka”
Perempuan muslim atau dari ahli kitab, mereka itu halal bagi kita (perempuan) apabila telah diberi mahar kepada mereka (laki-laki).
 مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
“dengan maksud menikahinya dengan jaga maruah, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik”.
Pernikahan itu mestilah untuk jaga maruah. Bukan sebagai untuk pernizaan atau jadikan perempuan itu sebagai perempuan simpanan. Islam menjaga baik maruah wanita dan tidak menjadikan mereka sebagai perempuan murahan yang digunakan sebagai gunaan seks sahaja, sebagai memuaskan hawa nafsu sahaja. Apabila mereka dinikahi, mereka punya hak juga yang mesti dipenuhi. Kalau mereka itu dijadikan sebagai perempuan simpanan, sebagai tempat perzinaan sahaja, tentulah mereka tidak ada hak seperti yang sepatutnya.
 وَمَن يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ
“Barangsiapa yang kufur untuk beriman, maka hapuslah amalannya”
Kufur dalam ayat ini bermaksud melakukan syirik amali. Kalau buat syirik amali ini, gugur segala amalan baik yang pernah mereka lakukan. Tidak kisahlah kalau mereka ada buat amalan kebaikan dahulu, tapi kalau mereka buat syirik amali saja, segala pahala amal kebaikan mereka itu akan musnah dan hilang begitu saja.
Ayat ini tentang hukum halal dan haram. Kalau tidak menjaga halal dan haramnya, maka kufurlah orang itu, tidak ada bedanya dengan orang yang tidak mengaku Islam pun.
 وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi”.        
Mereka rugi kerana mereka ada peluang untuk menjalani kehidupan yang baik di dunia dengan syarat taat kepada hukum Allah, tapi mereka lepaskan begitu sahaja.[2]
C.    Pengertian Ahlul Kitab
Dalam Is1am “Ahli Kitab” adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka yang percaya kepada Kitabullah, Taurat dan Injil, yang masing-masing diturunkan kepada Nabi Musa a.s dan Isa. a.s.[3]Istilah ahlul kitab berasal dari dua kata bahasa arab yaitu ahl dan kitab. Ahl/ahlu berarti pemilik sedangkan kitab berarti kitab/buku suci. Jadi, ahlukitab berarti, “Pemilik Kitab”, yakni para ummat nabi yang diberi kitab suci (wahyu Allah), seperti  orang Yahudi dan Nasrani. Mereka diberi kitab taurat dan injil.[4]
Ahli Kitab (أهل الكتاب′Ahl al-Kitāb) adalah sebutan bagi umat Yahudi dan Nasrani di dalam Al-Qur'an. Dinamakan demikian karena Allah telah mengutus nabi-nabi yang membawa kitab suci yaitu Taurat melalui Nabi Musa dan Injil melalui Nabi Isa. Dengan kedatangan Nabi Muhammad dan diturunkannya Al-Quran, ahli kitab ini ada yang menerima[1] dan ada yang menolak kerasulan Muhammad maupun kebenaran Al-Quran dari Allah. Penafsiran secara umum diterima bahwa kitab-kitab sebelum datangnya Islam adalah Taurat, Zabur, dan Injil. Dalam masalah hewan untuk dikonsumsi, bila penyembelihannya dilakukan oleh ahli kitab, maka hasil sembelihan tersebut dihalalkan, asalkan niatnya hanya untuk Allah semata[5]

D.    Hukum dalam QS. Al-Maidah Ayat 5
Perkawinan bagi umat Islam, bukanlah sekedar suatu  ikatan lahiriah antara seorang pria dengan wanita guna memenuhi kebutuhan biologis, tetapi merupakan sunnah Rasulullah SAW, suatu perbuatan suci dan luhur yang bertujuan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup dan mencapai ketenangan (sakinah) dalam kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu pernikahan harus dilaksanakan menurut petunjuk Allah SWT dan Rasul-Nya.
Namun sekarang ini, semakin banyak kaum muslimin dan muslimat yang melangsungkan perkawinan dengan kekasihnya tanpa memperhatikan perbedaan agama. Mereka berasumsi bahwa perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk membentuk keluarga yang bahagia.
Perkawinan tersebut ada yang dilaksanakan berdasarkan tata cara syari’at Islam, ada yang berdasarkan tata cara agama lain seperti yang dilangsungkan di gereja dengan pemberkatan pastur dan ada pula yang hanya dengan didaftarkan di catatan sipil.
Untuk memberikan pemahaman kepada umat Islam tentang pernikahan yang sah dan yang tidak sah menurut Syari’at Islam, serta untuk melindungi mereka dan penyimpangan dalam perkawinan yang berakibat pada ketidak-absahan hubungan suami istri dan status anak-anak yang dilahirkan, MUI memfatwakan tentang hukum perkawinan antara pemeluk agama Islam (muslim) dengan pemeluk agama lain (non muslim), sebagai berikut:[6]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ قَبْلِكُمْ
“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu” [al-Maidah/5: 5]
1)      Perilaku para sahabat, karena mereka telah menikahi wanita-wanita yang bersetatus sebagai Ahli Dzimmah dari Ahli Kitab. Misalnya Utsman Radhiyallahu ‘anhu, beliau telah menikahi Nailah binti Al-Gharamidhah Al-Kalbiyyah, padahal ia seorang wanita Nasrani, lalu masuk Islam dengan perantara beliau. Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu menikah dengan seorang wanita Yahudi dari Al-Madain.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai orang-orang Majusi
سُنُّوا سُنَّةً أَهْلِ الْكِتَابِ غَيْرَ نَا كِحِي نِسَائِهِمْ وَلاَ أَكْلِى ذَبَائِحِهِم
Berbuatlah kalian kepada mereka seperti yang berlaku bagi Ahli Kitab, selain menikahi wanita-wanita mereka dan tidak makan daging sembelihan mereka
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman” [al-Baqarah/2 : 221]
Sisi pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan nikah dengan wanita musyrik dalam ayat ini. Padahal wanita Ahli Kitab adalah orang musyrik. Dalam menyatakan bahwa wanita Ahli Kitab itu adalah orang musyrik, mereka berdalil dengan sebuah riwayat yang shahih dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau pernah ditanya tentang hukum menikah dengan wanita-wanita Nashrani dan Yahudi. Maka beliau menjawab : “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagi orang-orang yang beriman menikah dengan wanita-wanita musyrik. Dan, saya tidak mengetahui ada kemusyrikan yang lebih besar daripada seorang wanita yang mengatakan Rabb-nya adalah Nabi Isa. Padahal beliau adalah salah seorang hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala” [HR Al-Bukhari dalam Shahih-nya]


Mereka juga berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [al-Mumtahanah/60: 10]
Sisi pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang tetap berpegang teguh pada ikatan pernikahan dengan perempuan-perempuan kafir. Padahal perempuan-perempuan Ahli Kitab termasuk perempuan-perempuan kafir. Sementara larangan (An-Nahyu) dalam ayat tersebut bermakna haram.[7]

IV.             KESIMPULAN
Menikah merupakan salah satu sunah yang paling dicintai oleh Rasulullah Saw. Beliau mengkategorikan seseorang yang tidak menyukai sunnahnya dan tidak menikah sebagai orang yang bukan golongan beliau. Sesuai dengan sabda beliau, “Nikah itu sunnahku. Barang siapa yang tidak suka terhadap sunahku maka ia bukan golonganku.” (HR. Ibnu Majah, dari Aisyah Ra). Menikah dengan ahlul kitab hanya boleh dilakukan oleh lelaki muslim sahaja yang dengan wanita ahli kitab. Wanita Muslim tidak boleh menikah dengan lelaki ahli kitabkerana wanita selalunya terikut dengan agama suaminya.

V.                PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun kami harapkan untuk perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi kita semua, Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Depag RI, Al-Hikmah (Al-Qur’an dan Terjemahnya), (Bandung, CV PENERBIT DIPONEGORO, 2010).
Abdurrahman al-Jaziry, Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fiqr, 1995), Juz ke-4.
https://id.wikipedia.org/wiki/Ahli_Kitab, diakses pukul 09:00 wib, tanggal 08-05-2017
DR. Setiawan Budi Otomo. 2003. Fiqih Aktual. Jakarta: Gema Insani.



[1] Depag RI, Al-Hikmah (Al-Qur’an dan Terjemahnya), (Bandung, CV PENERBIT DIPONEGORO, 2010), Hal: 107
[3]Abdurrahman al-Jaziry, Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fiqr, 1995), Juz ke-4, hal. 75-76.
[4]Abdurrahman al-Jaziry, Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Juz ke-4, hal. 76-77
[5]https://id.wikipedia.org/wiki/Ahli_Kitab, diakses pukul 09:00 wib, tanggal 08-05-2017
[6]DR. Setiawan Budi Otomo. 2003. Fiqih Aktual. Jakarta: Gema Insani. Hal : 258-265

Tidak ada komentar:

Posting Komentar