KAIDAH-KAIDAH
USHUL FIQIH
(AMR,
NAHI, ’AM DAN KHAS)
Makalah
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Ushul Fiqih
Dosen
Penganpu: Bp. Abdul Ghoni
Disusun
Oleh:
Arifuddin
Nafi’ (1401016040)
Irfan
Izan Asdiqo (1401016041)
Isna
Nur Maksumah (1401016061)
Muflih
Syafi’ (1401016053)
Siti
Mumayzah (1401016037)
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
I.
PENDAHULAN
Seorang mujtahid harus memahami nash alquran dan sunah. Berbagai
bentuk ungkapan hukum harus dikuasai, dengan itu seorang mujtahid dituntut
menguasai gramatika bahasa Arab dan semestinya memahami maqasyid syariah
(tujuan-tujuan syariah).
Dengan demikian ia dapat menentukan hukum syar’i secara tepat.
Bentuk paling banyak terdapat dalam nash perintah dan larangan (الامروالنهى)
tetapi dalam konteks kalimat tertentu tidak selalu berarti hukum halal haram. Maka
disinilah pentingnya kita mempelajari amar nahi.
Dalam kehidupan sehari-hari terkadang kita
sulit memahami kata yang bersifat umum/’am, tetapi juga sering menjumpai
kata-kata yang sudah jelas maknanya, tegas, dan terbatas. Kata tersebut dalam
ushul fiqih disebut khas. Oleh karena itu, pemakalah akan mencoba
menjelaskan tentang kaidah ushul fiqih bagian amar, nahi dan ‘am, khas.
Harapan pemakalah lain untuk memenuhi tugas juga digunakan sebagai tambahan
pengetahuan atau wawasan pembaca tentang ushul fiqih.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimana kaidah-kaidah amr dan nahi?
B.
Bagaimana dalalah ‘am dan khas?
III.
PEMBAHASAN
A.
Kaidah-Kaidah Amr dan Nahi
1.
Amr (امر)
Amr secara bahasa berasal dar bahasa Arab, yaitu suruhan, perintah,
dan perbuatan. Sedangkan secara istilah, tuntutan perbuatan dari atasan kepada
bawahan yang didalamnya terdapat kaidah istimbat hukum.[1]
Jadi, amar adalah suatu lafal yang digunakan oleh orang lebih
tinggi kedududkannya kepada orang yang lebih rendah derajatnya agar melakukan
suatu perbuatan. Begitu juga perintah Allah SWT kepada manusia.
a.
Bentuk-bentuk Amr
Untuk mengetahui bentuk amr dalam bahasa Arab, ada beberapa
bentuk yang menunjukkan arti perintah. Bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai
berikut:[2]
1)
Fi’il amr, contoh:
وَاَقِيْمُوْا الصلاَةَ وَاتُوْا الزكاَةَ
Dan dirikanlah
shalat dan tunaikanlah zakat. (QS.
Al-Baqoroh: 43)
2)
Isim fi’il amr
....عَلَيْكُمْ
اَنْفُسَكُمْ لاَتَضَرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ اِذَا اهْتَدَيْتُمْ......
Jagalah dirimu sendiri, tiadalah orang yang sesat itu membahayakan
kamujika kamu mendapatkan petunjuk.
(QS. Al-Maidah: 105)
3)
Fi’il mudhari’ yang didahului huruf lam amr: )ولتكن(, contoh:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمةٌ.....
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat.....(QS. Ali Imran: 104)
4)
Isim masdar pengganti fi’il
Misal kata اِحْساَناً (berbuat
kebaikan), contoh:
وَبِاالْوَالِدَيْنِ اِحْسَاناً
Dan kepada kedua orang tuamu berbuat
kebaikan (QS. Al-Baqoroh: 83)
b.
Kaidah-kaidah Amr
Kaidah merupakan ketentuan seorang mujtahid dalam mengistimbatkan hukum. Ulama ushul merumuskan
kaidah dalam lima bentuk:
1)
Kaidah pertama (Pada dasarnya amr itu menunjukkan kepada wajib)[3]
a)
Nadb, anjuran sunnah. Contoh: (QS. An-Nur: 33)
“Hendaklah
kamu buat perjanjian kepada mereka, jika kamu ketahui ada kebaikan pada mereka”.
b)
Irsyad, membimbing atau memberi petunjuk. Contoh (QS. Al-Baqoroh:
282) “Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli”.
Ada perbedaan antara bentuk nadb dan irsyad. Nadb diharapkan
mendapat pahala, sedangkan Irsyad untuk kemaslahatan serta kebaikan yang
berhubungan dengan adat istiadat atau sopan santun.
c)
Ibahah, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, seperti:
(QS-Al-Baqoroh: 60). “Makan dan minumlah”.
d)
Tahdid, mengancam atau menghardik. Seperti: (QS. Fussilat: 40)
“Perbuatlah
apa yang kamu kehendaki”
e)
Taskhir, menghina atau merendahkan derajat. Seperti (QS.
Al-Baqoroh: 65). “jadilah kamu kera yang hina”.
f)
Ta’jiz, menunjukkan kelemahan lawan bicara. (QS. Al-Baqoroh: 23)
“Buatlah
satu surat (saja) yang semisal Alquran”.
g)
Taswiyah, menerangkan sama saja antara dikerjakan dan tidak.
Seperti: (QS. At-Thur: 16). “masuklah kamu kedalamnya (rasakanlah panas api)
maka baik kamu bersabar atau tidak sama saja”.
h)
Takzib, mendustakan. Seperti: (QS. Al-Baqoroh:111)
“tunjukkanlah
bukti kebenaranmu jika kamu orang yang benar”
i)
Talhif, membuat sedih atau merana. Seperti: (QS. Ali Imran: 119)
“matilah
kamu dengan panasnya hatimu (kemarahanmu)”.
j)
Doa, memohon. Seperti: (QS. Al-Baqoroh: 201)
“Wahai
Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan di akhirat”
2)
Kaidah ke dua (perintah setelah larangan menunjukkan kebolehan)
Apabila ada perbuatan yang sebelumnya dilarang, lalu datang
perintah mengerjakan, maka perintah tersebut bukan perintah wajib, tetapi
bersifat membolehkan. Contoh QS. Al-Jumuah: 10:
“Apabila halat jumat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah dimuka
bumi dan carilah karunia (rezeki) Allah”.
Ayat tersebut menerangkanbahwa setelah mengerjakan sholat jumat
diperbolehkan melakukan aktivitas lain, seperti jual beli. Padahal sebelumnya
(QS.Aljumuah:9) melarang atau harus meninggalkan jual beli dan aktivitas apapun
bila panggilan sholat jumat telah dikumandangkan.
Dengan demikian
perintah bertebaran dimuka bumi berdasarkan ayat 10 adalah wajib, tapi hanya
dibolehkan.
3)
Kaidah ketiga (pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera
dilaksanakan)
Misalnya tentang haji. “serulah kepada manusia untuk mengerjakan
haji”. Jumhur ulama’ sepakat perintah mengerjakan sesuatu yang berhubungan
dengan waktu, maka harus dilaksanakan sesuai waktu yang ditetapkan.
4)
Kaidah keempat (pada dasarnya perintah tidak menghendaki
pengulangan)
Suruhan-suruhan syara’ tidak menghendaki supaya yang disuruh itu
berulang-ulang dikerjakan[4]. Contoh
menunaikan haji, hanya perintahkan satu kali seumur hidup.
5)
Kaidah kelima (memerintahkan mengerjakan sesuatu berarti
memerintahkan pula segala wasilahnya)
Perbuatan yang diperintahkan tidak bisa terwujud tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain
yang dapat mewujudkan perbuatan yang diperintahkan itu. Misalnya kewajiban
shalat. Shalat tidak bisa dikerjakan tanpa suci terlebih dahulu, karena
perintah shalat berarti juga perintah suci.
2.
Nahi (نهى)
Nahi menurut bahasa berarti mencegah atau melarang, sedangkan secara istilah tuntunan
untuk meninggalkan perbuatan orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang
yang lebih rendah tingkatannya.[5]
Jumhur ulama’ sepakat bahwa pada asalnya nahi menghasilkan hukum
haram, karena semua bentuk larangan dapat dikatakan dengan mendatangkan
kerusakan. Seperti: larangan merusak alam, larangan berzina, larangan riba,dan
sebagainya.
a.
Bentuk-bentuk Nahi
1)
Fi’il mudhari’ yang didahului la nahiyah/lam nahi (jangan).
لاَ تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ
“Janganlah engkau membuat
kerusakan dimuka bumi ini”.(QS.Al-Baqarah:11)
2)
Lafadz-lafadz lain yang memberikan pengertian haram atau perintah
meninggalkan perbuatan.
وَيَنْهَى عَنِ الْفَخْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ
“Dan dilarang berbuat
keji dan mungkar”. (QS.An-Nahl:90)
b.
Kaidah-kaidah Nahi
1)
Kaidah pertama (pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram)
Nahi merupakan keharusan dalam meninggalkan sesuatu yang dilarang,
seperti perbuatan zian. Kadang-kadang
nahi digunakan beberapa arti (maksud) sesuai dengan larangan perkataan
itu, antara lain sebagai berikut:[6]
a)
Karahah (makruh)
وَلاَ تُصَلُّوْا فِىْ اَعْطَانِ الْاِبِلِ
Larangan dalam hadis ini tidak menunjukkan haram, namun hanya
makruh, karena tempatnya yang kurang bersih dan dapat menyebabkan shalat kurang
khusyu’.
b)
Doa
رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ
هَدَيْتَنَا
“Ya Tuhan kami, janganlah
engkau jadikan hati kami cenderung kepada kesesatan setelah engkau beri
petunjuk kepada kami”.
Perkataan janganlah tidak menunjukkan larangan, melainkan
permintaan hamba kepada Allah.
c)
Irsyad
“Janganlah
kamu tanyakan segala sesuatu, bila dilahirkan (jawabannya) akan menyusahkanmu”. (Qs.Al-Maidah: 101)
d)
Tahqir (menghina)
“janganlah
sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidupmu”. (QS.
Al-Hijr: 88)
e)
I’tinas (menghibur)
“janganlah
engkau bersedih, karena sesunguhnya Allah bersama dengan kita”. (QS. At- Taubah)
f)
Tay’is (menunjukan putus asa)
“dan
janganlah engkau membela diri pada hari kiamat”. (QS. At-Tahrim: 7)
g)
Tahdid (ancaman)
Seperti
perkataan seorang kepada pelayannya, tidak usah kamu turuti perintahku.
2)
Kaidah kedua (pada dasarnya larangan mutlak, namun menghendaki
pengulangan dalam segala zaman)
Apabila larangan dikaitkan dengan batasan waktu, maka disuruh untuk
meninggalkan selamanya (mutlak).
“dan
janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji dan
suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra: 32)
Tetapi jika larangan itu terkait dengan waktu maka larangan itu
berlaku jika ada sebabnya saja (muqayyad).
“Apabila
datang haidmaka tinggalkanlah shalat”.
3)
Kaidah ketiga (melarang sesuatu berarti memerintahkan sesuatu yang
menjadi kebalikannya)
“dan
janganlah kamu berjalan dimuka bumi ini dengan berlagak sombong”. (QS. Al-Luqman: 18)
Larangan tersebut memberikan pemahaman bahwa kita diperintahkan
untuk berjalan dengan sikap sopan.
4)
Kaidah keempat (pada dasarnya larangan itu menunjukkan perbuatan yang dilarang, baik
ibadah maupun mu’amalah)
Seperti:
larangan sholat dan puasa bagi wanita haid dan nifas, jual beli binatang yang
masih dalam kandungan. Hal tersebut dilarang oleh syara’.
B.
Dalalah ‘Am dan Khas
1.
‘Am (العام)
Ditinjau dari segi bahasa, kata ‘am berarti umum, merata, dan
menyeluruh. Sedangkan menurut istilah ‘ama dalah lafadz yang menunjukkan satu
makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dengan jumlah tertentu.[7]
Jadi lafadz ‘am ini adalah bersifat umum, seperti kata al insan
(manusia), maka didalam kata al insan termasuk semua manusia yang ada di
dunia ini, baik manusia kecil ataupun besar, merdeka maupun golongan budak.
a.
Lafadz-lafadz ‘Am
Lafadz-lafadz
‘am yang digunakan untuk memberi
faedah’am antara lain:[8]
1)
Lafadz kullu (tiap-tiap), lafadz jami’ (semua)
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ
الْمَوْتِ:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (Ali ‘Imran, 185)
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا
فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala
yang ada di bumi secara keseluruhan (jami’an)”.
(Al-Baqarah:29).
Lafadz كل dan حام tersebut di
atas, keduanya mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas jumlahnya.
2)
Lafadz jama’ yang dimakrifatkan dengan alif lam (اَلْ) diawal
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ
أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
“Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya”. (Al-Baqarah:233). Kata
al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama
atau disebut ibu.
3)
Kata benda tunggal yang dimakrifatkan dengan alif lam
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
(Al_baqarah:
27) Lafadz al-bai’ (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di
ma’rifatkan dengan alif lam. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am yang
mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
4)
Isim maushul ((الذي
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ
أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا
وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang (al-ladzina) memakan harta anak
yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut
dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala”. (An-Nisa:10)
5)
Isim isyarah, seperti siapa (من), apa saja (ما)
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ
يَصَّدَّقُوا
“dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar
diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka
(keluarga terbunuh) bersedekah”.(An-Nisa’:92)
6)
Isim nakirah terletak setelah nafi
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ
تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“dan tidak ada dosa atas kamu
mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya”. (Al-Mumtahanah:10).
b.
Macam-macam Lafadz ‘Am
1)
Lafadz ‘am yang yang tidak
mungkin bisa ditakhsis.
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي
الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
“Dan tidak ada suatu binatang
melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (QS.Hud:6). Yang dimaksud
adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali.
2)
Lafadz ‘am yang bisa ditakhsis,
karena ada dalil dan bukti yang menunjukkan kekhususannya.
مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ
وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
وَلَا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ
Tidaklah sepatutnya bagi
penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka,
tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi
mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. (At-Taubah: 120). Yang
dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tapi hanya orang-orang yang
mampu.
3)
Lafadz ‘am yang memang di pakai
untuk hal – hal yang khusus, seperti lafadz umum yang tidak ditemukan adanya
tanda yang menunjukkan ditakhsis.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. ( Al-Baqarah: 228).
Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqat (wanita-wanita yang
ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah
makna umum atau sebagian cakupannya.[9]
2.
Khas (الخاص)
Khas menurut bahasa ialah lafadz yang menunjukkan arti yang
tertentu, tidak meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari
‘am. Menurut istilah, definisi khas adalah lafadh yang diciptakan
untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu. Seperti Muhammad. Atau
menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan
terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat,
sekumpulan orang, sekelompok orang dan lain sebagainya yang terdiri dari lafadz
yang menunjukkan sejumlah individu dan tidak menunjukkan terhadap seluruh
individu. Artinya tidak mencakup semua, namun hanya berlaku untuk sebagian
tertentu.
a.
Lafadz Khas
1)
Berbentuk muthlak yaitu lafal
khas yang tidak ditentukan dengan
sesuatu.Contohnya, hukum zakat fitrah adalah satu sho’.
2)
Berbentuk khas(muqoyyad) lafal
khas yang ditentukan dengan sesuatu.Contohnya, masalah bersuci.
3)
Berbentuk amr yaitu kata yang
mengandung arti amar atau berbentuk khabar,dan hukumnya wajib.
Contonya, wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru.
4)
Berbentuk nahiy yaitu mengandug
arti larangan dan hukumnya haram.
3.
Dalalah ‘Am dan Khas
Jumhur Ulama, di antaranya
Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafadz ‘am itu dzanniy. Dalalahnya atas
semua satuan-satuan di dalamnya. Demikian pula, lafadz ‘am setelah
di-takhshish, sisa satuan-satuannya juga dzanniy dalalahnya, sehingga
terkenallah di kalangan mereka suatu kaidah ushuliyah yang berbunyi: مَا مِنْ عَامٍ إِلاَّ خُصِّصَ “Setiap dalil yang ‘am harus
ditakhshish”.
Oleh karena itu, ketika lafadz
‘am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan pentakhshishnya. Berbeda dengan
jumhur ulama’. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lafadz ‘am
itu qath’iy dalalahnya, selagi tidak ada dalil lain yang
mentakhshishnya atas satuan-satuannya. Karena lafadz ‘am itu dimaksudkan oleh
bahasa untuk menunjuk atas semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali.
Sebagai contoh, Ulama Hanaifiyah mengharamkan memakan daging yang disembelih
tanpa menyebut basmalah, karena adanya firman Allah yang bersifat umum, yang
berbunyi:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ “dan janganlah kamu memakan
binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya”. (Al-An`âm:121).
Ayat tersebut, menurut mereka,
tidak dapat ditakhshish oleh hadits Nabi yang berbunyi:المْسْلِمُ يَذْبَحُ عَلَى اسْمِ
اللهِ سَمَّى أَوْ لمَ يُسَمِّ
“Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar menyebutnya atau tidak.” (H.R. Abu Daud).
“Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar menyebutnya atau tidak.” (H.R. Abu Daud).
Alasannya adalah bahwa ayat
tersebut qath’iy, baik dari segi wurud (turun) maupun dalalah-nya, sedangkan
hadits Nabi itu hanya dzanniy wurudnya, sekalipun dzanniy dalalahnya.
Ulama Syafi’iyah membolehkan,
alasannya bahwa ayat itu dapat ditakhshish dengan hadits tersebut. Karena kedua
dalil itu sama-sama dzanniy. Lafadz ‘am pada ayat itu dzanniy dalalahnya, sedang hadits itu
dzanniy pula wurudnya dari Nabi Muhammad SAW.[10]
Dalalah khas menunjuk kepada
dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang
ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang
memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ
ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ
”Tetapi jika ia tidak menemukan
binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa
haji” (Al-Baqaarah :196).
Lafadz tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas,
yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh
lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath’iy dan dalalah
hukumnya pun qath’iy. Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadh khas harus
ditakwilkan kepada maksud makna yang lain. Sebagai contoh hadits Nabi yang
berbunyi:
فِيْ كُلِّ أَرْبَعِيْنَ شَاةً شَاةٌ
“pada setiap empat puluh kambing, wajib
zakatnya seekor kambing”.
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadh khas.Karena kedua lafadh tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri.
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadh khas.Karena kedua lafadh tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri.
Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah qath’iy. Tetapi
menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang
mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong
fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan memberikan
seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor kambing yang
dizakatkan.
IV.
SIMPULAN
Ketetapan hukum Sar’i
yang sudah digariskan oleh Al Qur’an dan As Sunnah harus dipahami dengan
sungguh-sungguh, untuk melangkah ke sana diperlukan kemampuan mempuni bagi
calon-calon Mujtahid agar tidak terjadi produk hukum yang ngawur dan tidak bisa
di pertanggung jawabkan. Mempelajari ilmu ushul fiqh, mendalami dan sekaligus menguasainya
adalah salah satu batu loncatan untuk menjadi pencetus hukum yang handal dan
diperhitungkan. Sampai di sini semoga tulisan yang sangat sederhana dan penuh
kekurangan ini bisa dimanfa’atkan dan bila terdapat kekeliruan mohon
dibetulkan.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan tentang kaidah-kaidah
ushul fiqih khususnya amr dan nahi beserta’am dan khas. Kritik dan saran yang
membangun kami tunggu untuk perbaikan makalah yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry,
Nazar. Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: Rajawali Pers. 1993.
Karim,
Syafi’i. Fiqih-Ushul fiqih. Bandung: Pustaka Setia. 1997.
Muhammad,
Teuku Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2001.
Syafe’i,
Rachmad. Ilmu ushul Fiqih. Bandung: Pustaka setia. 1999.
Wahhab
Khallaf, Abdul. Ilmu Ushul fiqi. Semarang: Dina Utama. 1994.
[1] Nazar Bakry, Fiqih
dan Ushul Fiqih, Jakarta: Rajawali Pers, 1993, hal:178
[2]Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul
fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 1997, hal: 223
[3] Teuku Muhammad Hasbi,
Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001, hal: 328-330
[4] Ibid, hal: 332
[6] Syafi’i karim,
Fiqih-Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 1997, hal: 235-237
[7] Rachmad Syafe’i, Ilmu
ushul Fiqih, Bandung: Pustaka setia, 1999, hal 193
[8] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu
Ushul fiqih, Semarang: Dina Utama, 1994, hal: 279-282
Tidak ada komentar:
Posting Komentar