Kamis, 01 Juni 2017

Kaidah Kaidah Usul Fiqih (AMR, NAHI, AM, KHAS)



KAIDAH-KAIDAH USHUL FIQIH
(AMR, NAHI, ’AM DAN KHAS)
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqih
Dosen Penganpu: Bp. Abdul Ghoni



Disusun Oleh:
Arifuddin Nafi’          (1401016040)
Irfan Izan Asdiqo       (1401016041)
Isna Nur Maksumah    (1401016061)
Muflih Syafi’              (1401016053)
Siti Mumayzah            (1401016037)



FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015

I.          PENDAHULAN
Seorang mujtahid harus memahami nash alquran dan sunah. Berbagai bentuk ungkapan hukum harus dikuasai, dengan itu seorang mujtahid dituntut menguasai gramatika bahasa Arab dan semestinya memahami maqasyid syariah (tujuan-tujuan syariah).
Dengan demikian ia dapat menentukan hukum syar’i secara tepat. Bentuk paling banyak terdapat dalam nash perintah dan larangan (الامروالنهى) tetapi dalam konteks kalimat tertentu tidak selalu berarti hukum halal haram. Maka disinilah pentingnya kita mempelajari amar nahi.
Dalam kehidupan sehari-hari terkadang kita sulit memahami kata yang bersifat umum/’am, tetapi juga sering menjumpai kata-kata yang sudah jelas maknanya, tegas, dan terbatas. Kata tersebut dalam ushul fiqih disebut khas. Oleh karena itu, pemakalah akan mencoba menjelaskan tentang kaidah ushul fiqih bagian amar, nahi dan ‘am, khas. Harapan pemakalah lain untuk memenuhi tugas juga digunakan sebagai tambahan pengetahuan atau wawasan pembaca tentang ushul fiqih.

II.          RUMUSAN MASALAH
A.  Bagaimana kaidah-kaidah amr dan nahi?
B.  Bagaimana dalalah ‘am dan khas?

III.          PEMBAHASAN
A.  Kaidah-Kaidah Amr dan Nahi
1.    Amr (امر)
Amr secara bahasa berasal dar bahasa Arab, yaitu suruhan, perintah, dan perbuatan. Sedangkan secara istilah, tuntutan perbuatan dari atasan kepada bawahan yang didalamnya terdapat kaidah istimbat hukum.[1]
Jadi, amar adalah suatu lafal yang digunakan oleh orang lebih tinggi kedududkannya kepada orang yang lebih rendah derajatnya agar melakukan suatu perbuatan. Begitu juga perintah Allah SWT kepada manusia.


a.    Bentuk-bentuk Amr
Untuk mengetahui bentuk amr dalam bahasa Arab, ada beberapa bentuk yang menunjukkan arti perintah. Bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai berikut:[2]
1)   Fi’il amr, contoh:
وَاَقِيْمُوْا الصلاَةَ وَاتُوْا الزكاَةَ
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. (QS. Al-Baqoroh: 43)
2)   Isim fi’il amr
....عَلَيْكُمْ اَنْفُسَكُمْ لاَتَضَرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ اِذَا اهْتَدَيْتُمْ......
Jagalah dirimu sendiri, tiadalah orang yang sesat itu membahayakan kamujika kamu mendapatkan petunjuk. (QS. Al-Maidah: 105)
3)   Fi’il mudhari’ yang didahului huruf lam amr: )ولتكن(, contoh:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمةٌ.....
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat.....(QS. Ali Imran: 104)
4)   Isim masdar pengganti fi’il
Misal kata اِحْساَناً (berbuat kebaikan), contoh:
وَبِاالْوَالِدَيْنِ اِحْسَاناً
Dan kepada kedua orang tuamu berbuat kebaikan (QS. Al-Baqoroh: 83)

b.    Kaidah-kaidah Amr
Kaidah merupakan ketentuan seorang mujtahid dalam  mengistimbatkan hukum. Ulama ushul merumuskan kaidah dalam lima bentuk:
1)   Kaidah pertama (Pada dasarnya amr itu menunjukkan kepada wajib)[3]
a)    Nadb, anjuran sunnah. Contoh: (QS. An-Nur: 33)
“Hendaklah kamu buat perjanjian kepada mereka, jika kamu ketahui ada kebaikan pada mereka”.
b)      Irsyad, membimbing atau memberi petunjuk. Contoh (QS. Al-Baqoroh: 282) “Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli”.
Ada perbedaan antara bentuk nadb dan irsyad. Nadb diharapkan mendapat pahala, sedangkan Irsyad untuk kemaslahatan serta kebaikan yang berhubungan dengan adat istiadat atau sopan santun.
c)      Ibahah, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, seperti: (QS-Al-Baqoroh: 60). “Makan dan minumlah”.
d)     Tahdid, mengancam atau menghardik. Seperti: (QS. Fussilat: 40)
Perbuatlah apa yang kamu kehendaki”
e)      Taskhir, menghina atau merendahkan derajat. Seperti (QS. Al-Baqoroh: 65). “jadilah kamu kera yang hina”.
f)       Ta’jiz, menunjukkan kelemahan lawan bicara. (QS. Al-Baqoroh: 23)
“Buatlah satu surat (saja) yang semisal Alquran”.
g)      Taswiyah, menerangkan sama saja antara dikerjakan dan tidak. Seperti: (QS. At-Thur: 16). “masuklah kamu kedalamnya (rasakanlah panas api) maka baik kamu bersabar atau tidak sama saja”.
h)      Takzib, mendustakan. Seperti: (QS. Al-Baqoroh:111)
“tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu orang yang benar”
i)        Talhif, membuat sedih atau merana. Seperti: (QS. Ali Imran: 119)
“matilah kamu dengan panasnya hatimu (kemarahanmu)”.
j)        Doa, memohon. Seperti: (QS. Al-Baqoroh: 201)
“Wahai Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan di akhirat”
2)   Kaidah ke dua (perintah setelah larangan menunjukkan kebolehan)
Apabila ada perbuatan yang sebelumnya dilarang, lalu datang perintah mengerjakan, maka perintah tersebut bukan perintah wajib, tetapi bersifat membolehkan. Contoh QS. Al-Jumuah: 10:
“Apabila halat jumat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah dimuka bumi dan carilah karunia (rezeki) Allah”.
            Ayat tersebut menerangkanbahwa setelah mengerjakan sholat jumat diperbolehkan melakukan aktivitas lain, seperti jual beli. Padahal sebelumnya (QS.Aljumuah:9) melarang atau harus meninggalkan jual beli dan aktivitas apapun bila panggilan sholat jumat telah dikumandangkan.
            Dengan demikian perintah bertebaran dimuka bumi berdasarkan ayat 10 adalah wajib, tapi hanya dibolehkan.
3)   Kaidah ketiga (pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan)
Misalnya tentang haji. “serulah kepada manusia untuk mengerjakan haji”. Jumhur ulama’ sepakat perintah mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan waktu, maka harus dilaksanakan sesuai waktu yang ditetapkan.
4)   Kaidah keempat (pada dasarnya perintah tidak menghendaki pengulangan)
Suruhan-suruhan syara’ tidak menghendaki supaya yang disuruh itu berulang-ulang dikerjakan[4]. Contoh menunaikan haji, hanya perintahkan satu kali seumur hidup.
5)   Kaidah kelima (memerintahkan mengerjakan sesuatu berarti memerintahkan pula segala wasilahnya)
Perbuatan yang diperintahkan tidak bisa terwujud  tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain yang dapat mewujudkan perbuatan yang diperintahkan itu. Misalnya kewajiban shalat. Shalat tidak bisa dikerjakan tanpa suci terlebih dahulu, karena perintah shalat berarti juga perintah suci.

2.    Nahi (نهى)
Nahi menurut bahasa berarti mencegah atau  melarang, sedangkan secara istilah tuntunan untuk meninggalkan perbuatan orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya.[5]
Jumhur ulama’ sepakat bahwa pada asalnya nahi menghasilkan hukum haram, karena semua bentuk larangan dapat dikatakan dengan mendatangkan kerusakan. Seperti: larangan merusak alam, larangan berzina, larangan riba,dan sebagainya.
a.    Bentuk-bentuk Nahi
1)   Fi’il mudhari’ yang didahului la nahiyah/lam nahi (jangan).
لاَ تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ
“Janganlah engkau membuat kerusakan dimuka bumi ini”.(QS.Al-Baqarah:11)
2)   Lafadz-lafadz lain yang memberikan pengertian haram atau perintah meninggalkan perbuatan.
وَيَنْهَى عَنِ الْفَخْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ
Dan dilarang berbuat keji dan mungkar”. (QS.An-Nahl:90)
b.    Kaidah-kaidah Nahi
1)   Kaidah pertama (pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram)
Nahi merupakan keharusan dalam meninggalkan sesuatu yang dilarang, seperti perbuatan zian. Kadang-kadang  nahi digunakan beberapa arti (maksud) sesuai dengan larangan perkataan itu, antara lain sebagai berikut:[6]
a)  Karahah (makruh)
وَلاَ تُصَلُّوْا فِىْ اَعْطَانِ الْاِبِلِ
Larangan dalam hadis ini tidak menunjukkan haram, namun hanya makruh, karena tempatnya yang kurang bersih dan dapat menyebabkan shalat kurang khusyu’.
b)   Doa
رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا
“Ya Tuhan kami, janganlah engkau jadikan hati kami cenderung kepada kesesatan setelah engkau beri petunjuk kepada kami”.
Perkataan janganlah tidak menunjukkan larangan, melainkan permintaan hamba kepada Allah.
c)    Irsyad
“Janganlah kamu tanyakan segala sesuatu, bila dilahirkan (jawabannya) akan menyusahkanmu”.  (Qs.Al-Maidah: 101)
d)   Tahqir (menghina)
janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidupmu”. (QS. Al-Hijr: 88)
e)    I’tinas (menghibur)
“janganlah engkau bersedih, karena sesunguhnya Allah bersama dengan kita”. (QS. At- Taubah)
f)    Tay’is (menunjukan putus asa)
dan janganlah engkau membela diri pada hari kiamat”. (QS. At-Tahrim: 7)
g)   Tahdid (ancaman)
Seperti perkataan seorang kepada pelayannya, tidak usah kamu turuti perintahku.
2)   Kaidah kedua (pada dasarnya larangan mutlak, namun menghendaki pengulangan dalam segala zaman)
Apabila larangan dikaitkan dengan batasan waktu, maka disuruh untuk meninggalkan selamanya (mutlak).
dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra: 32)
Tetapi jika larangan itu terkait dengan waktu maka larangan itu berlaku jika ada sebabnya saja (muqayyad).
“Apabila datang haidmaka tinggalkanlah shalat”.
3)   Kaidah ketiga (melarang sesuatu berarti memerintahkan sesuatu yang menjadi kebalikannya)
“dan janganlah kamu berjalan dimuka bumi ini dengan berlagak sombong”. (QS. Al-Luqman: 18)
Larangan tersebut memberikan pemahaman bahwa kita diperintahkan untuk berjalan dengan sikap sopan.
4)   Kaidah keempat (pada dasarnya larangan itu  menunjukkan perbuatan yang dilarang, baik ibadah maupun mu’amalah)
Seperti: larangan sholat dan puasa bagi wanita haid dan nifas, jual beli binatang yang masih dalam kandungan. Hal tersebut dilarang oleh syara’.

B.  Dalalah  ‘Am dan Khas
1.    ‘Am (العام)
Ditinjau dari segi bahasa, kata ‘am berarti umum, merata, dan menyeluruh. Sedangkan menurut istilah ‘ama dalah lafadz yang menunjukkan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dengan jumlah tertentu.[7]
Jadi lafadz ‘am ini adalah bersifat umum, seperti kata al insan (manusia), maka didalam kata al insan termasuk semua manusia yang ada di dunia ini, baik manusia kecil ataupun besar, merdeka maupun golongan budak.
a.    Lafadz-lafadz ‘Am
Lafadz-lafadz ‘am  yang digunakan untuk memberi faedah’am antara lain:[8]
1)      Lafadz kullu (tiap-tiap), lafadz jami’ (semua)
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ:
Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (Ali ‘Imran, 185)
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi secara keseluruhan (jami’an)”. (Al-Baqarah:29).
Lafadz كل  dan  حام  tersebut di atas, keduanya mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas jumlahnya.
2)      Lafadz jama’ yang dimakrifatkan dengan alif lam (اَلْ) diawal
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
“Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi  orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya”. (Al-Baqarah:233). Kata al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama atau disebut ibu.
3)      Kata benda tunggal yang dimakrifatkan dengan alif lam
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Al_baqarah: 27) Lafadz  al-bai’ (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di ma’rifatkan dengan alif lam. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
4)    Isim maushul ((الذي
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang (al-ladzina) memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api  sepenuh perut dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala”. (An-Nisa:10)
5)      Isim isyarah, seperti siapa (من), apa saja (ما)
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا
“dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah”.(An-Nisa’:92) 
6)      Isim nakirah terletak setelah nafi
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya”. (Al-Mumtahanah:10).
b.    Macam-macam Lafadz ‘Am
1)   Lafadz ‘am yang yang tidak mungkin bisa  ditakhsis.
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا 
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (QS.Hud:6). Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali. 
2)   Lafadz ‘am yang bisa ditakhsis, karena ada dalil dan bukti yang menunjukkan kekhususannya.
مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ
Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. (At-Taubah: 120). Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tapi hanya orang-orang yang mampu.
3)   Lafadz ‘am yang memang di pakai untuk hal – hal yang khusus, seperti lafadz umum yang tidak ditemukan adanya tanda yang menunjukkan ditakhsis.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. ( Al-Baqarah: 228). Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupannya.[9]

2.    Khas (الخاص)
Khas menurut bahasa ialah lafadz  yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari ‘am. Menurut istilah, definisi khas adalah  lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu. Seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan orang, sekelompok orang dan lain sebagainya yang terdiri dari lafadz yang menunjukkan sejumlah individu dan tidak menunjukkan terhadap seluruh individu. Artinya tidak mencakup semua, namun hanya berlaku untuk sebagian tertentu.
a.    Lafadz Khas
1)      Berbentuk muthlak yaitu lafal khas yang tidak ditentukan       dengan sesuatu.Contohnya, hukum zakat fitrah adalah satu sho’.
2)      Berbentuk khas(muqoyyad) lafal khas yang ditentukan dengan sesuatu.Contohnya, masalah bersuci.
3)      Berbentuk amr yaitu kata yang mengandung arti amar atau  berbentuk khabar,dan hukumnya wajib. Contonya, wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.
4)      Berbentuk nahiy yaitu mengandug arti larangan dan hukumnya haram.

3.    Dalalah ‘Am dan Khas
Jumhur Ulama, di antaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafadz ‘am itu dzanniyDalalahnya atas semua satuan-satuan di dalamnya. Demikian pula, lafadz ‘am setelah di-takhshish, sisa satuan-satuannya juga dzanniy dalalahnya, sehingga terkenallah di kalangan mereka suatu kaidah ushuliyah yang berbunyi: مَا مِنْ عَامٍ إِلاَّ خُصِّصَ “Setiap dalil yang ‘am harus ditakhshish”.
Oleh karena itu, ketika lafadz ‘am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan pentakhshishnya. Berbeda dengan jumhur ulama’. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lafadz ‘am itu qath’iy dalalahnya, selagi tidak ada dalil lain yang mentakhshishnya atas satuan-satuannya. Karena lafadz ‘am itu dimaksudkan oleh bahasa untuk menunjuk atas semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali. Sebagai contoh, Ulama Hanaifiyah mengharamkan memakan daging yang disembelih tanpa menyebut basmalah, karena adanya firman Allah yang bersifat umum, yang berbunyi:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ “dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya”. (Al-An`âm:121).
Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat ditakhshish oleh hadits Nabi yang berbunyi:المْسْلِمُ يَذْبَحُ عَلَى اسْمِ اللهِ سَمَّى أَوْ لمَ يُسَمِّ
  “Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar menyebutnya atau tidak.” (H.R. Abu Daud).
Alasannya adalah bahwa ayat tersebut qath’iy, baik dari segi wurud (turun) maupun dalalah-nya, sedangkan hadits Nabi itu hanya dzanniy wurudnya, sekalipun dzanniy dalalahnya.
Ulama Syafi’iyah membolehkan, alasannya bahwa ayat itu dapat ditakhshish dengan hadits tersebut. Karena kedua dalil itu sama-sama dzanniy. Lafadz ‘am pada ayat itu dzanniy dalalahnya, sedang hadits itu dzanniy pula wurudnya dari Nabi Muhammad SAW.[10]
Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ
”Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji” (Al-Baqaarah :196).
Lafadz  tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath’iy dan dalalah hukumnya pun qath’iy. Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadh khas harus ditakwilkan kepada maksud makna yang lain. Sebagai contoh hadits Nabi yang berbunyi:
فِيْ كُلِّ أَرْبَعِيْنَ شَاةً شَاةٌ
 “pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor kambing”.
          Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadh khas.Karena kedua lafadh tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri.
Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah qath’iy. Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan.



IV.          SIMPULAN
Ketetapan hukum Sar’i yang sudah digariskan oleh Al Qur’an dan As Sunnah harus dipahami dengan sungguh-sungguh, untuk melangkah ke sana diperlukan kemampuan mempuni bagi calon-calon Mujtahid agar tidak terjadi produk hukum yang ngawur dan tidak bisa di pertanggung jawabkan. Mempelajari ilmu ushul fiqh, mendalami dan sekaligus menguasainya adalah salah satu batu loncatan untuk menjadi pencetus hukum yang handal dan diperhitungkan. Sampai di sini semoga tulisan yang sangat sederhana dan penuh kekurangan ini bisa dimanfa’atkan dan bila terdapat kekeliruan mohon dibetulkan.

V.          PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sampaikan tentang kaidah-kaidah ushul fiqih khususnya amr dan nahi beserta’am dan khas. Kritik dan saran yang membangun kami tunggu untuk perbaikan makalah yang akan datang.


















DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Nazar. Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: Rajawali Pers. 1993.
Karim, Syafi’i. Fiqih-Ushul fiqih. Bandung: Pustaka Setia. 1997.
Muhammad, Teuku Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2001.
Syafe’i, Rachmad. Ilmu ushul Fiqih. Bandung: Pustaka setia. 1999.
Wahhab Khallaf, Abdul. Ilmu Ushul fiqi. Semarang: Dina Utama. 1994.


[1] Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih, Jakarta: Rajawali Pers, 1993, hal:178
[2]Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 1997, hal: 223
[3] Teuku Muhammad Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001, hal: 328-330
[4] Ibid, hal: 332
[5] Op.cit, hal: 243
[6] Syafi’i karim, Fiqih-Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 1997, hal: 235-237
[7] Rachmad Syafe’i, Ilmu ushul Fiqih, Bandung: Pustaka setia, 1999, hal 193
[8] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul fiqih, Semarang: Dina Utama, 1994, hal: 279-282
[9] Syafi’I Karim, Op.Cit, hlm: 153
[10] Abdulwahab KhallafOp.Cit , hlm: 282

Tidak ada komentar:

Posting Komentar